Jika ditanya padaku, apa saja hal yang bisa membahagiakanku? Dengan mudah aku aku akan menjawabnya, dengan menulis puisi. Karena puisi itu membahagiakanku!
Jika aku mengalami kebahagiaan, aku akan menulis suatu puisi yang bahagia. Jika aku mengalami keganjilan di dalam peradaban akan partikel-partikel di perjalanan hidup, aku akan menggugat hal itu dan menggaburkannya ke dalam puisiku.
Walau aku pernah meninggalkan puisi selama 7 tahun karena ketidakpenerimaanku akan hal yang terjadi dalam hidupku, hingga pernah memusnahkan semua puisi yang kutulis sejak masa remaja. Kini aku menyadari bahwa puisiku adalah korban keegoisanku dan aku tak ingin lagi mengulanginya.
"Dan aku tak mau lagi kehilangan satu puisi pun yang sudah tertulis sejak 01 Oktober 2018, aku akan merawat kata demi kata puisiku dan mengumpulkan kumpulan puisiku ke dalam buku puisi, juga menyimpannya di platform blog yang kumiliki".
Sudah tentu, sekarang aku paham bahwa bersama puisi ada kebahagiaan yang kurasakan. Puisi itu virus sastra dan merupakan kekayaan hati yang memiliki nilai tersendiri di hatiku. Karena puisi adalah kenyamanan untukku berbagi cerita. Puisi pun mempunyai tempat yang nyaman di lokomotif waktuku.
Artinya, puisi adalah hal yang bisa menghadirkan suatu keistimewaan bagiku. Di dalam puisi, aku bisa menemukan kebebasan dan makna yang berbeda.
Jika ada yang mengatakan puisi itu adalah karya fiksi, dan itu benar adanya. Tapi bukankah sebenarnya, puisi yang karya fiksi bisa menjadi non-fiksi. Karena hanya penulis itu sendiri yang tahu jawabnya, apakah yang ditulis hanya fiksi belaka atau ada kebenaran di dalam akasara-aksara puisinya. Seperti yang dikemukakan Luxemburg, dkk. Puisi itu mencakup kesatuan antara isi, tata bahasa dan situasi bahasa.
Dalam realita hidup yang kulalui, pastilah aku pernah terluka. Mengalami ketidakadilan hidup. Bagaimana pun hidup itu penuh lika-liku dan dinamika, bisa juga apa yang terjadi dalam hidup buatku tercabik-cabik dalam ketidakpastian. Namun tidak demikian dengan puisi, puisiku tak akan pernah buatku tercabik-cabik dalam ketidakpastian.
Entah puisi itu laku atau tidak bagi orang lain, yang pasti puisiku adalah teman istimewa di perjalanan hidupku. Di hukum alam semestaku, aku akan tetap menikmati siklus waktuku bersama puisi yang kutulis.
Sekalipun puisiku itu puisi yang tak memiliki rima, kata orang yang pernah mengkritik puisiku. Karena puisiku itu tidak bergantung pada apa yang disukai orang lain, tidak pula kutulis untuk menghapus sembilu dan sayatan luka orang lain. Tapi yang pertama dan utama, puisiku ya untuk diriku sendiri. Kecuali jika ada orang lain yang merasakan kebaikan lewat untaian aksara puisiku, itu adalah bonus lebih untukku.
Kini, aku sungguhlah tak tahu. Bisakah lagi aku berpisah dengan puisi? Yang kutahu, jika aku masih bernafas, jantungku masih berdetak, tubuhku sehat, jari tanganku masih berfungsi, aku akan tetap berbaur pun berbaur dengan puisi. Karena dengan puisi, entah itu menulis atau bahkan hanya membaca puisi, aku merasakan jiwaku seperti bernyawa dan berbunga-bunga sebab bahagia.