Proses bedside handover yang tidak efektif beresiko menyebabkan kematian pada pasien. Sampai saat ini, angka kematian akibat Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) pada pasien rawat inap berjumlah 33,6 juta per tahun atau berkisar 44.000 sampai 98.000 pasien. Sedangkan, angka insiden KTD selama proses perawatan mencapai angka 46% . Angka ini sebenarnya dapat ditekan, apabila perawat melaksanakan bedsidehandover secara terstruktur dan sistematis.
Standar Prosedur Operasional mengenai pelaksanaan bedside handover telah tersedia di rumah sakit di Indonesia, namun, pelaksanaannya belum tepat, tidak efektif dan efisien.
Pedoman pelaksanaan bedside handoveryang diatur dalam suatu kebijakan nasional akan meningkatkan kesadaran para tenaga kesehatan terhadap bedside handover.Kebijakan nasional ini juga dapat menjadi hak legalitas yang akan melindungi tenaga keperawatan terhadap kemungkinan terjadinya efek samping selama proses pelayanan.
Permasalahan Utama Pelaksanaan Bedside Handover
Salah satu penyumbang angka kejadian tak diinginkan adalah pelaksanaan serah terima (bedside handover) pasien di ruangan yang kurang optimal. World Health Organization menyatakan bahwa terdapat 11% dari 25.000-30.000 kasus pada tahun 1995 – 2006 terdapat kesalahan akibat komunikasi pada saat serah terima pasien (Kesrianti, Bahry, & Maidin, 2015). Angka ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam proses pelaksanaan bedside handover akan memberikan dampak negatif yang cukup besar.
Penyebab terjadinya kesalahan dalam proses pelayanan berasal dari petugas (85%) dan peralatan (15%). Hal ini menggambarkan bahwa petugas atau tenaga kesehatan memiliki peran penting dalam pelayanan kepada pasien (Kongres PERSI, 2007) (Bachtiar & Merdawati, 2016). Tingginya biaya perawatan dan lamanya perawatan akan menurunkan angka kepuasan dan kepercayaan pasien, keluarga pasien, dan masyarakat terhadap pola pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan.
Kebijakan Turunan terkait Bedside Handover
Sampai saat ini, pelaksanaan bedside handover hanya berpayung pada peraturan menteri kesehatan tentang keselamatan pasien. Permenkes 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang keselamatan pasien. Namun, tidak dijelaskan secara spesifik terhadap metode atau cara untuk menurunkan angka bahaya pada pasien, sehingga tiap organisasi pelayanan kesehatan memiliki berbagai penafsiran dalam pencapaiannya.
Undang-Undang Keperawatan no. 38 Tahun 2014 pasal 2 tentang praktik keperawatan menjadi pedoman utama dalam pengembangan kebijakan yang mendukung praktik keperawatan berasakan kesehatan dan keselamatan pasien. Keberhasilan impelementasi Undang-Undang Keperawatan no.38 Tahun 2014 pasal 2 akan lebih besar apabila didukung dengan kebijakan turunan yang mangatur tentang prosedur dan manajemen bedside handover.
Belum adanya kebijakan pemerintah secara nasional, menyebabkan pelaksanaan bedside handover yang beragam dan tidak memiliki pengawasan dari pemerintah. Bentuk nyata pengawasan pemerintah adalah adanya indikator pencapaian sebagai target keberhasilan pencapaian program pemerintah yaitu mengurangi angka kematian di Indonesia secara umum.
Sistem Manajerial Bedside Handover