Lihat ke Halaman Asli

Dokter Indonesia Bersatu

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13783928301574380693

[caption id="attachment_263994" align="alignleft" width="300" caption="Aksi Damai Dokter Indonesia Bersatu (Senin, 20 Mei 2013)"][/caption]

Dokter Indonesia Bersatu, pertama kali bergabung di grup Facebooknya awal tahun 2013 (lupa tepatnya) karena di-invite oleh seorang friend (kakak tingkat di FK UNS) di FB juga. Ada banyak postingan dan komentar mengenai kondisi profesi Dokter dan pelayanan kesehatan. Yang kira-kira topiknya seperti ini:

1.Bagaimana dokter dan bidang kesehatan selalu dijadikan kendaraan politik bagi para calon wakil rakyat untuk menarik perhatian masyarakat dengan topik besar Kesehatan Gratis. Tanpa masyarakat tahu, apa dan bagaimana kesehatan gratis itu bisa terlaksana dengan keadaan serba dipaksakan bahkan dengan ‘mengeksploitasi’ dokter, yang selalu dituntut pengabdiannya untuk Negara.

2.Bagaimana jargon besar ‘pemerataan dokter’ ke seluruh pelosok negri dengan bendera suci untuk mengabdi dan mengaplikasikan ilmunya serta mendapatkan bimbingan dari dokter senior di tempatnya bertugas. Dengan uang lelah 1 juta-an per bulan, di mana pun sang dokter ditempatkan. Tanpa boleh membuka praktek pribadi atau bekerja di instasi lain. Gaji pun seringkali tersendat. Dan sang dokter pun masih ‘terima’ keadaan tersebut karena memang semangat pengabdiannya masih berkobar membara di dada (baru lulus). Tapi apa yang terjadi saat si dokter juga seorang kepala keluarga yang harus memenuhi kebutuhan keluarganya atau bukan berasal dari keluarga mampu yang dapat memberinya kiriman tambahan???. Mereka bekerja paruh waktu di swalayan atau yang lebih tragis, hanya mengandalkan jatah makan dari Rumah Sakit ditempatnya mengabdi.

3.Bagaimana para dokter yang berjuang berulang-ulang untuk dapat lulus uji kompetensi agar dapat memiliki Surat Ijin Praktek, sementara banyak ahli pengobatan lain yang tidak berijin resmi bebas berpraktek kesehatan yang seringkali berujung ‘jika sakit berlanjut hubungi dokter anda’. Dan, pasien datang dalam keadaan yang buruk yang jika meninggal maka dokternya dituntut. Lalu adakah yang menuntut para ahli pengobatan sebelumnya???

4.Bagaimana ternyata pemerintah tidak merencanakan anggaran kesehatan yang cukup (5% APBN).

5.Bagaimana ternyata masih banyak dokter jaga klinik 24 jam yang dibayar tidak layak.

6.Bagaimana mahalnya kuliah kedokteran (swasta).

Masih banyak hal lagi yang saya baca dan membuat mata saya terbelalak. Ternyata, mengerikan sekali nasib profesi dokter di negeri ini. Ada rasa marah kepada Pemerintah atau siapalah yang dengan tega membiarkan ini semua terjadi. Itu dokternya. Belum lagi efeknya bagi para pasien (masyarakat awam).

1.Apakah masyarakat menyadari apa yang terjadi jika diperiksa oleh dokter yang kelelahan fisik dan mental karena terlalu banyaknya pasien?

2.Apakah masyarakat tahu bagaimana dokter sibuk ‘berhitung’ obat/terapi agar si pasien bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal dengan dana yang minimalis dari pemerintah?

3.Apakah masyarakat mau dilayani dengan terburu-buru oleh dokter yang sibuk karena harus cari tambahan dengan praktek di RS lain?

4.Apakah masyarakat mau dilayani sebagai sampingan saja karena si dokter lebih fokus mengurus bisnisnya yang lebih menjanjikan, mengingat keluarga si dokter juga perlu dinafkahi?

5.Apakah masyarakat menyadari kenapa para pejabat biasanya memilih berobat ke luar negeri daripada di negeri sendiri? Tentunya karena para beliau tahu bagaimana sebenarnya pelayanan kesehatan di negerinya serba terbatas (padahal itu akibat kebijakan yang mereka buat sendiri).

6.Apakah masyarakat ada yang tahu bahwa tak jarang untuk menutup biaya operasional kesehatan gratis (di RS), jasa medis petugas kesehatan harus dikorbankan supaya pelayanan tetap berjalan?

Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengetuk pintu hati para pembaca sekalian. Kami para dokter tidak semata-mata ingin dihargai atau minta bayaran lebih (sebenarnya itu juga merupakan hak kami). Tapi juga karena kami juga sudah jengah dengan ‘kebusukan’ di balik pelayanan kesehatan gratis. Kesehatan dan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah. Kalau memang gratis tentunya gratis yang sesuai standar, aman bagi pasien dan nyaman bagi petugas.

Jangan lagi salahkan petugas kesehatan jika masyarakat merasa pelayanan kesehatan terasa kurang dan serba terbatas. Itu semua karena keadaan yang dikondisikan oleh pemerintah yang menjanjikan kesehatan gratis.

Bagi para pemimpin yang duduk di kursi terhormat untuk menentukan kebijakan, saya yakin hati nurani itu masih ada dan masih terus berbisik, “Apakah kalau saya sakit, saya mau dilayani dengan pelayanan kesehatan gratis, sama seperti yang saya berikan untuk rakyat saya?”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline