Gambar 1. Tembok Kampung Doalanan yang dilukis oleh Mahasiswa Institut Seni Indonesia
Permainan tradisional, yang biasa kita sebut sebagai ‘dolanan’ sudah jarng sekali terlihat dimainkan oleh anak-anak jaman sekarang. Apalagi semenjak pertengahan tahun 1980-an dimana permainan plastik dari Amerika dan China mulai merambah di Indonesia. Kampung Dolanan, keunikan salah satu desa dari keragaman seni kriya yang ada di Yogyakarta, dimana eksistensi dolanan masih bertahan.
“sudah jaman kecil saya membuat permainan ini, dari mulai simbok”, jelas Mbah Atemo sambil membuat sebuah model wayang dari kertas.
Kampung Dolanan secara historis adalah salah satu dusun yang masyarakatnya mayoritas memproduksi dolanan anak-anak berbahan bambu dan kertas.Tradisi ini sudah ada sejak pemerintaha HB VIII atau sekitar abad ke-18.Angkrek, othok-othok, wayang kertas, payung dan kepat menjadi salah satu pilihan dolanan yang ditawarankan dari desa ini.
Letak desa ini 9,2 km dari kota Yogyakarta ke arah selatan, lebih tepatnya di dusun Pandes, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Café Pyramid yang berada di jalan Parangtritis menjadi petunjuk jalan terdekat dari dusun ini.
Lahirnya Nama Kampung Dolanan
Momentum gempa bumi 2006 menjadi titik dimana Wahyudi, selaku perintis lahirnya kampung dolanan ini melakukan sebuah pergerakan.Memiliki rasa senasib dan sepenanggungan pada saat itu, menjadi sebuah langkah kecil untuk mengumpulkan kembali semangat masyarakat Pandes untuk menunjukkan kearifan lokalnya.Kemudian didirikanlah Komunitas Pojok Busaya yang memberikan desa Pandes sebagai Kampung Dolanan
“Tahun 2007, Komunitas Pojok Budaya didirikan di kampung dolanan ini.Dimana tujuan utamanya melihat kembali potensi dusun Pandes”, ungkap Bimo, Ketua Komunitas Pojok Budaya.
Visi dari komunitas ini adalah ingin membantu dalam perwujudan masyarakat yang mandiri, berbudaya, religius dan peduli lingkungan sekitar. Komunitas yang terdiri dari Karang Taruna dan masyarakat Pandes pun memiliki kegiatan, misalnya saja adanya Kelompok Bermain Among Siwi dan juga kegiatan Insidental lainnya, seperti pelestarian budaya dan paket outbond untuk para pengunjung.
Kelompok Bermain Among Siwi ini memiliki sistem pembelajaran yang satu visi dengan kampung dolanan, yaitu mempergunakan alam dan alat-alat traadisional sebagai media pembelajarannya. Begitu juga dengan paket outbond yang ditawarkan berbeda dari outbond pada umumnya. Kampung Dolanan memberikan sebuah pembelajaran dalam membuat dolanan langsung dari simbah-simbah.Begitu juga pelestarian busaya yang ada di desa ini, seperti gejog lesung, karawitan, wayang dan jatilan.
Eksistensi Dolanan
Permainan yang ada di internet, gadget, playstation memang lebih menarik bagia anak-anank dibandingkan sebuah permainan tradisional yang daya tahan mainannya tidak terlalu lama. Namun, keuletan tangan simbah-simbah di dusun dalam memproduksi sebuah permainan patut diacungi jempol. Di usianya yang lebih dari 80 tahun, masih kuat untuk membuat pola dalam permainan tradisional.
Mbah Joyo yang sedang membuat mainan Seiring dengan perkembangan jaman, jumlah simbah yang memproduksi dolanan pun semakin sedikit. Awalnya hampir semua masyarakat dusun ini memproduksi dolanan hingga kini hanya 4 yang tersisa. Mbah Karto, Mbah Joyo, Mbah Sis dan Mbah Atemo sebagai pelestari buda dalam permainan dolanan.
“yaaa…kalau saya sudah tidak ada. ya sudah tidak ada lagi yang meneruskan. Anak-anak sekarang sudah pada merantau dan berbeda”, ungkap mbah Joyo saat ditemui di bilik bambunya.
Hal ini pun diungkapkan oleh Mas Bimo, salah satu komunitas Pojok Budaya.Pada dasarnya, memproduksi sebuah dolanan bukan menjadi salah satu pilihan bagi generasi sekarang disebabkan karena faktor ekonomi yang tidak mendukung. Membuat dolanan memang bukan menjadi sebuah pilihan mata pencaharian di era ini, namun ini dapat diakali dengan membuat re-design dari dolanan itu sendiri.
Uniknya Dolanan
Angkrek, othok-othok, wayang kertas, payung, kitiran, kandangan, klontongan dan kepat merupakan dolanan khas yang dihasilkan di desa ini. Angkrek adalah sebuah permainan yang dibentuk dari pola kertas, dimana keunikannya kaki dan tangannya dapat digerakkan secara bersamaan.Hebatnya lagi, wayang kulit dan angkrek buatan dari dusun Pandes tidak digambar terlebih dahulu baru digunting.Namun, simbah-simbah memotongnya langsung dengan mudahnya.Pewarnaan dalam permainan ini juga masih menggunakan pewarna tradisional, semacam seperti pewarna pakaian yang kita sebut wanteks.Kemudian simbah-simbah melukiskannya di atas kertas tersebut.
Begitu halnya dengan pola pada permainan kitiran, kepat (payung), kandangan dan klontongan yang dibuat dari bambu.Tangan-tangan simbah ini mampu memilih mana bambu yang cocok dan bagaimana membentuknya menjadi menarik.Oleh karena itu, tidak salah jika tradisi ini sudah turun-temurun.
[caption id="attachment_253828" align="alignleft" width="368" caption="Mainan Kepat, Wayang dan Angrek"]
[/caption] Produksi dolanan di desa ini tidaklah semat-mata hanya untuk mata pencaharian para simbah-simbah pada jaman dahulu.Walaupun secara fisik hanyalah sebuah permainan, ternyata dibalik dari sebuah dolanan banyak makna yang ingin disampaikan.
“Dalam permainan sebuah ada yang disebut multiple intelligent atau kecerdasan majemuk, yang terdiri atas kecerdasan irama, kinestetis dan rasa, atau dalam bahasa jawanya wiromo, wiroso dan wirogo”, ungkap Pak Wahyudi.
Penasaran ingin bermain mengingat-ingat saat kita kecil? Serta mau bersama-sama melestarikan dolanan ini sendiri. Yukk langsung saja ke Kampung Dolanan, banyak hal yang menarik disana !
Video : http://youtu.be/WW0ICFeNs1k
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H