BIOETANOL - Penggunaan etanol dalam bensin merupakan salah satu solusi alternatif yang sedang dikembangkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Etanol merupakan bahan bakar yang dihasilkan dari sumber daya nabati seperti jagung, tebu, dan lain-lain yang dapat diperbaharui.
Dalam bensin, etanol dapat dicampur dalam kandungan tertentu, tergantung pada persyaratan pabrikan kendaraan dan tingkat oktan yang diinginkan. Dalam pencampuran bensin dan etanol, penggunaan etanol dapat mengurangi emisi gas karbon monoksida, hidrokarbon, dan nitrogen oksida, serta dapat meningkatkan performa mesin dan meningkatkan oktan pada bensin.
Pabrik etanol pertama di Amerika Serikat didirikan pada tahun 1908 oleh seorang insinyur kimia bernama Georges Claude di negara bagian Louisiana. Namun, produksi etanol secara massal baru berkembang pada tahun 1940-an ketika Amerika Serikat menghadapi krisis energi dan terbatasnya pasokan bahan bakar fosil. Pada saat itu, etanol diproduksi dari jagung dan dianggap sebagai sumber energi alternatif yang berpotensi untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi. Hingga pada 1984, jumlah pabrik etanol di Amerika Serikat meroket hingga sebayak 163 dan memproduksi setidaknya lebih dari 2,2 milyar liter etanol tiap tahunnya (Kumar, 2018).
Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 12 Tahun 2015, dengan target 30% biodiesel dan 20% bioetanol pada tahun 2025. Hal ini merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan. Selain itu, penerapan bahan bakar etanol diharapkan dapat mengurangi impor minyak bumi yang berdampak pada keseimbangan neraca perdagangan negara (GAPKI, 2020).
Namun adanya kendala yang terjadi di industri etanol Indonesia seperti kurangnya infrastruktur produksi Bahan Bakar Nabati (BBN), terbatasnya bahan baku, biaya produksi etanol yang tinggi, dan produksi dalam negeri yang belum berkembang, menjadi faktor penting dalam penghambatsektor energi terbarukan di Indonesia.
Secara kimiawi, bioetanol memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan bensin pada umumnya. Pertama, bioetanol memiliki angka oktan yang lebih tinggi daripada bensin, sehingga dapat menghasilkan performa mesin yang lebih baik dan efisien. Kedua, bioetanol lebih ramah lingkungan karena memiliki emisi gas rumah kaca yang lebih rendah daripada bensin. Bioetanol juga tidak mengandung bahan-bahan aditif berbahaya seperti bensin yang dapat mencemari lingkungan dan kesehatan manusia. Ketiga, sumber bahan baku untuk produksi bioetanol lebih terbarukan dan dapat diperbaharui, seperti dari jagung, tebu, singkong, dan sorgum.
Untuk mengetahui perbedaan spesifik bahan bakar lebih lanjut antara E100 (Ethanol 100%) dan Gasoline (Bensin) dapat dilihat melalui publikasi Fuel Properties Comparison yang dilansir dari situs resmi Departemen Energi Amerika Serikat (USDOE) melalui Alternatives Fuel Data Center (AFDC):
https://afdc.energy.gov/files/u/publication/fuel_comparison_chart.pdf
Referensi:
Kumar, A., Ogita, S., & Yau, Y. Y. (Eds.). (2018). Biofuels: greenhouse gas mitigation and global warming: next generation biofuels and role of biotechnology. Springer.
GAPKI (2020) Kinerja Industri Sawit Indonesia 2019. Jakarta.