Lihat ke Halaman Asli

luqman hakim

Be Better

Jurus Menghilang ala Koruptor

Diperbarui: 10 Juni 2020   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sampai artikel ini dirilis, perburuan terhadap tersangka kasus suap Pemilu April 2019 lalu masih terus berlangsung. Setelah beberapa bulan berlalu dan tayangan berseliweran di berbagai media tentang kemagisan sang koruptor dalam menggunakan jurus menghilang. Sungguh ironis bahwa negara yang menjunjung tinggi nilai moral dan gotong royong dikelabui dengan cara licik seperti dalam cerita "si kancil".

Celah hukum di Indonesia masih sangat terbuka lebar sehingga menjadi ladang bagi tikus kantor untuk masuk dan bermain-main. Pasal demi pasal dikonstruksi tidak dengan bata dan semen terbaik. Bukan bangunan yang kokoh terbangun tetapi lubang-lubang tikus yang siap menggerogoti sedikit demi sedikit persediaan kejujuran di dalamnya.

Public trust terhadap pemerintah semakin menurun karena lamban dan cenderung acuh kepada penegakan hukum. Timbul dalam benak masyarakat bahwa pemerintah mengurus satu orang saja tidak bisa apa lagi lebih dari 250 Juta rakyat Indonesia. Belum lagi dengan kondisi aparat birokrasi yang korup dan bekerja seakan tanpa integritas. Memang ini bukan kasus pertama dan mungkin bukan pula terakhir, tetapi permainan dan kedok politisi dan aparat harus segera diakhiri.

Politisi atau wakil rakyat memiliki arti penting bagi masyarakat saat ini. Perwajahan mereka akan menentukan perwajahan bangsa di luar sana. Hingga saat ini masih terus dihantui wajah buruk para wakil rakyat yang sebagian besar masih mementingkan diri sendiri dan menumpuk kekayaan untuk tujuh turunan sedangkan di luar sana masih banyak rakyat kecil pusing memikirkan sesuap nasi untuk pagi ini dan apakah masih ada untuk sore hari.

Panggung sandiwara yang dibuat wakil rakyat memang sangat menghibur bagi siapapun. Mereka dapat menjadi malaikat ketika menjelang pemilu dan berubah menjadi setan ketika telah terpilih. Permainan peran sangat apik ditampilkan ketika di panggung maupun belakang panggung. Penonton begitu mudah tersihir oleh aksi mereka tanpa mengetahui skenario sesungguhnya.

Selain ketidakpercayaan, dampak lain adalah kegetiran masyarakat dalam menilai wakil rakyat. Lagu-lagu parodi tercipta di bus-bus penumpang dan panggung komedi. Perlawanan semacam ini sedikit banyak berdampak namun tidak lebih dari sekedar kegetiran. Telinga dan hati para koruptor tersumbat skenario kabur dari hukuman. 

Tidak mengherankan ketika anak kecil ditanya tentang cita-cita dengan lugu menjawab "menjadi koruptor". Sampai sebegitu parah dampak korupsi terhadap pola pikir bangsa. Baik dan buruk semakin sulit dibedakan hanya karena "terlihat" enak dan nyaman.

Tindakan korupsi memang lekat dengan manusia mulai dari waktu, ruang, hingga benda. Sadar atau tidak sadar perilaku semacam ini memang mudah ditemui, hanya saja dalam skala dan kewajaran tertentu dan tidak sampai dipertontonkan di ruang publik. Terlihat konyol karena membenci sesuatu padahal kita juga menyukai untuk melakukannya pula.

Ketidaktegasan aparat? tentu saja bukan karena aparat telah dihancur otot dan tulangnya oleh suap dan sekelumit aturan. Jangkauan mereka tidak lagi luas. Aparat bertindak memerangi kejahatan dibalik kandang dengan hanya menjulurkan tangan. Jangkauan luas? itu hanya berlaku bagi pasal karet yang dibuat pemerintah untuk menakuti kritikus kekuasaan. Baru sekarang terjadi? itu sudah sejak zaman Fir'aun dengan pasal pembunuhan bayi yang akan melengserkan kekuasaan di kemudian hari.

Lantas kita harus menjadi apa di dalam permainan tikus dan kancil ini? Tentu saja terus menjadi pribadi yang baik tanpa kehilangan kejujuran. Memberi peringatan kepada wakil rakyat sekaligus menjalankan fungsi pengawasan. Cerdaskan diri dengan banyak belajar dan membaca agar tidak mudah dikelabui. Itu saja tidak cukup, perlu juga sesekali ikut dalam permainan melalui berbagai media sehingga resisten terhadap racun dan pikiran korup. 

Bagi orang tua tentu mendidik anak agar dekat dengan nilai-nilai moral sehingga filtering terhadap hal-hal buruk di luar sana terjadi sejak dini. Kesiapan anak-anak ketika keluar dari istana rumah adalah demi menyebarkan kebaikan dan kebenaran. Bukan sebaliknya terpengaruh dunia dan amoral apalagi menggunakan kecerdasan mereka untuk mengelabui lagi dan lagi. Lembaga pendidikan sekalipun belum mampu sepenuhnya menjaga generasi tanpa korupsi tetapi rumah yang nyaman dan terbuka akan melahirkan generasi hebat karena kasih sayang tak pernah dikorupsi dari mereka.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline