Lihat ke Halaman Asli

Nasionalisme dalam Piano (Part 14)

Diperbarui: 6 Juni 2016   21:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah lembar peringatan bagi yang ingin menggunakan piano ini di Camp Kennedy. Ini adalah piano tua, jadi harap dimainkan dengan rasa hormat.

Please Note

This piano is a grand old lady who deserves respect. She is not a toy. She does not like chopsticks etc. She should only be used under adult supervision, for legitimate purposes.

Rabu, 25 September 2013. Ini hari terakhir kami di Camp Kennedy dan hari terakhir bersama keluarga host di Albany. Setelah makan pagi, kami pergi ke pantai di dekat Camp Kennedy. Sesampainya di pantai, kami berlomba membangun istana pasir. Tidak lama kemudian, istana pasir kami pun jadi. Walaupun sederhana, istana pasir tersebut adalah hasil kerja sama kami yang membangunnya. Beberapa menit kemudian, ada seorang anak kecil yang datang mendekat dan menyenggol istana pasir kami sampai hancur. Selesai sudah jalan-jalan kami di pantai, kami pun kembali ke Camp Kennedy. Setelah sampai di Camp Kennedy, aku berfoto bersama teman dekatku selama di ASHS.

Selanjutnya, kami berkumpul di aula. Salah satu momen paling berkesan sekaligus mengharukan di sini adalah ketika kami menyanyikan lagu kebangsaan masing-masing. Kami menyanyikan “Indonesia Raya”, sedangkan para siswa ASHS menyanyikan “Advance Australia Fair”. Kakak kelasku, Mbak Runi, yang memainkan piano mengiringi “Indonesia Raya” terlihat sangat menghayati. Di situlah aku bisa merasa bangga menjadi orang Indonesia. Entah mengapa, rasa bangga di Indonesia terasa meluap-luap ketika berada di luar negeri. Acara tersebut juga diselingi dengan pertukaran cendera mata dari masing-masing siswa.

Terakhir, kami syuting untuk drama musikal yang sudah kami persiapkan saat di sekolah. Syuting berlokasi di lapangan yang berbukit-bukit. Adegan yang aku mainkan adalah pada saat berhadapan dengan musuh, jadi aku pun berakting seperti kesatria perang, menyerang dan bergulat dengan musuh yang ada di depan mata.

Setelah selesai syuting, kami berkemas-kemas dan kembali ke Albany. Sesampainya di sekolah, kami mengucapkan perpisahan dan pulang ke rumah. Aku pulang dengan menumpang bus. Bus melaju dengan cepat meninggalkan ASHS. Hal yang aku sesali sampai sekarang adalah aku lupa berfoto sendiri dengan latar belakang gedung dan papan nama ASHS! Aku buru-buru memfoto ASHS dari dalam bus untuk terakhir kalinya dan bus tetap melaju dengan kencang.

Selamat tinggal, ASHS. I wish I will return here.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline