Sebagian besar wilayah Kabupaten Jember merupakan dataran rendah, dengan ketinggian tanah rata-rata 83 meter diatas permukaan laut dan merupakan daerah yang cukup subur dan sangat cocok untuk pengembangan komoditi pertanian dan perkebunan, sehingga dikenal sebagai daerah atau lumbung pangan dan penghasil devisa negara sektor perkebunan di Propinsi Jawa Timur.
Secara keseluruhan Kabupaten Jember memiliki luas 3.293,34 Kilometer persegi, Terjadinya peningkatan kebutuhan lahan untuk kebutuhan masyarakat mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap luas lahan-lahan pertanian. Inti permasalahannya adalah selain pengurangan luas lahan pertanian, konversi lahan sering terjadi pada wilayah-wilayah yang subur dan pada tempat-tempat di mana telah dilaksanakan investasi untuk pembangunan irigasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perkembangan dan proyeksi konversi lahan pertanian dilihat dari luasan, peruntukan, dan pola konversi di Kabupaten Jember. Selama Tahun 2005 - 2013 terjadi pengurangan rata – rata luasan areal persawahan sebesar 81,86 ha/tahun dengan laju pengurangan luasan areal sebesar 31,92 %.
Peningkatan peruntukan perumahan dengan rata – rata peningkatan luasan areal untuk pengembangan perumahan sebesar 72,90 ha/tahun dengan laju penambahan sebesar 26,21 % per tahun. Untuk rata-rata perkembangan perumahan perkecamatan adalah sebesar 2,35 ha/tahun sedangkan untuk kebutuhan industri terjadi peningkatan luasan areal lahan rata – rata per tahun selama periode Tahun 2005 – 2013 sebesar 4,46 ha/tahun, demikian juga luasan areal untuk fasilitas dan jasa sebesar 12,10 ha/tahun. Secara keseluruhan rata-rata perubahan peruntukan lahan persawahan ke non pertanian di Kabupaten Jember selama Tahun 2005 - 2013 rata-rata per kecamatan sebesar 2,63 ha/tahun.
Dan Menurut Irawan dan Prayitno (2012), Kegiatan konversi lahan sawah cenderung menimbulkan penurunan produksi per satuan lahan yang semakin besar dari tahun ke tahun, sebaliknya pencetakan sawah cenderung memberikan dampak peningkatan produksi per satuan lahan yang semakin kecil.
Kecenderungan demikian terjadi karena konversi lahan sawah semakin bergeser ke daerah dengan teknologi usahatani yang cukup tinggi, sedangkan pencetakan lahan sawah semakin bergeser ke daerah dengan teknologi usahatani yang semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan sumberdaya alam (lahan dan air) yang potensial bagi pencetakan sawah semakin terbatas.
Serta gencarnya pengalih fungsian ini bukan juga hanya karena peraturan perundang-undangan yang tidak efektif, baik itu dari segi substansi ketentuannya yang tidak jelas dan tegas, maupun penegakannya yang tidak didukung oleh pemerintah sendiri sebagai pejabat yang berwenang memberikan izin pemfungsian suatu lahan. Tetapi juga tidak didukung oleh “tidak menarik”nya sektor pertanian itu sendiri.
Langka dan mahalnya pupuk, alat-alat produksi lainnya, tenaga kerja pertanian yang semakin sedikit, serta diperkuat dengan harga hasil pertanian yang fluktuatif, bahkan cenderung terus menurun drastis mengakibatkan minat penduduk (atau pun sekedar mempertahankan fungsinya) terhadap sektor pertanian pun menurun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H