Lihat ke Halaman Asli

Luqman Rico Khashogi

Pengembara Ilmu

Petaka Kanjuruhan dan Tata Kelola Kemanusiaan

Diperbarui: 3 Oktober 2022   14:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Harian Kompas pada 3 Oktober 2022 ini memuat cover yang menyayat. Seluruh nama yang meninggal dari tragedi Kanjuruhan Sabtu 1 Oktober lalu jelas tercatat. Ada yang menyebut 130 tewas, tapi yang pasti menelan lebih dari 400 korban. Benar-benar menyita emosi.  Korban yang dirawat kebanyakan disebabkan karena kurang oksigen, terinjak-injak, dan mata merah; efek gas air mata. Ada juga suporter yang meninggal di pelukan pemain.

Di markas besar FIFA, seluruh bendera negara dari anggota FIFA dikibarkan setengah tiang sebagai wujud belasungkawa terhadap tragedi Kanjuruhan. "Dunia sepak bola sedang diguncang oleh insiden tragis yang terjadi di Indonesia..." kata Presiden FIFA, Gianni Infantrino. Tidak sedikit ucapan solidaritas untuk tragedi ini dari lintas klub di Dunia. Begitupun antar suporter di Indonesia. Seluruhnya tumpah dalam hening. Sepakbola yang sejatinya untuk hiburan, berubah jadi kuburan.

Seluruh mata di berbagai titik nusantara sedang menyoroti tragedi berdarah ini. Bukan hanya karena banyaknya suara kesaksian mereka yang lolos dari maut, tapi juga tak terhitungnya video yang berhasil diambil secara spontan di tempat kejadian dan viral di berbagai media sosial. Juga tidak hanya soal potret luapan ketidakpuasan, tapi juga ada banyak gas air mata dilontarkan, tidak sedikit pukulan, banyak tendangan, dimana-mana berhamburan, ada banyak desakan di pintu-pintu keluar yang dahsyat dan menyebar kepanikan hebat. Yang lebih emosi juga nampaknya ketika kamera menangkap banyak atraksi arogan.

Buntut dari kericuhan dan kerusuhan ini, Nahdlatul Ulama bahkan tidak hanya mendesak Kapolda Jatim dan Kapolres Malang dicopot atas tragedi ini, tapi juga seluruh anggota PSSI agar mundur. "Ini adalah Tragedi Indonesia", kata K.H. Yahya Kholil Staquf. "Tragedi ini menggoyah marwah bangsa", ungkap Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir.

Kita tidak bisa berspekulasi juga apakah panggung represifitas aparat di ruang publik ini menjadi salah satu opportunity crime, meskipun jauh hari KontraS pernah mengingatkan soal tersedia dan terbukanya akses impunitas akibat dari lemahnya norma perundang-undangan dan sistem kelembagaan. Yang pasti kasus yang ada keterlibatan aparat penegak hukum, kata Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kerap tidak mudah diungkap.

Bisa jadi kerusuhan atau tawuran antar suporter akan juga menjadi temuan di lapangan dengan wacana gaslighting, tapi masyarakat tidak perlu dipaksa berbaik sangka dan berfikir positif saat buruknya tata kelola terpampang nyata. Stop toxic positivity & strawman fallacy! Apakah pantas pemangku kebijakan menyampaikan statement bahwa penanganan masa (yang mengorbankan banyak nyawa) di Kanjuruhan sudah sesuai prosedur?

Sekarang minimal publik bisa sedikit memetakan, ancaman di ruang publik ini tidak hanya dialami oleh para demonstran unjuk rasa, atau mahasiswa, tapi juga suporter bola. Jadi, apakah anda setuju kata Aremania bahwa "Tragedi Kanjuruhan adalah Pembantaian Manusia"?

Yang pasti kita dalam frekuensi yang sama; meskipun tidak akan mungkin mendengar pengakuan "saya yang paling bertanggungjawab atas tragedi di Kanjuruhan", yang jelas saat ini kita sedang memendam kemurkaan, kejengkelan, kemarahan, dan frustasi soal tata kelola Sepakbola.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline