Lihat ke Halaman Asli

Luqman Rico Khashogi

Pengembara Ilmu

Wacana Politisasi Islam

Diperbarui: 10 Mei 2022   11:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ciri paling menonjol dari kebangkitan politik Islam masa kini adalah kemauannya untuk berdialog. (Leonard Binder)


Jangan campur aduk politik dengan Agama! Demikian kurang lebih salah satu tren diskursus politik Islam. Di negeri kita juga sepertinya tidak asing mendengar narasi serupa. Publik umumnya akan mudah melacak dan berhenti di tahun 2017. Pemicunya waktu itu keriuhan Pilkada ibu kota.

Seolah ingin mengulang kembali diskusi Islam Yes Partai Islam No (?) di Taman Ismail Marzuki tahun 1970an. Bisa jadi itu satire, tapi nampaknya publik tidak melihat hal itu metafora. Memang gagasan ini mengingatkan kita lagi "devaluasi radikal"nya Robert N. Bellah (1927-2013) yang secara genealogis awalnya dibawa oleh Nurcholish Madjid (1939-2005).

Melacak Mata Rantai

Dalam tradisi Islam, ungkapan di atas setidaknya mengingatkan kita pada beberapa tokoh Muslim populer. Abdullah Ahmed An-Na'im (1946-sekarang) dalam Islam and The Secular State misalnya, mencatat bahwa "integrasi" Agama dan negara rawan akan politisasi, yang visi-misnya terbatas pada tujuan semu keduniaan; meterialistis.

Pandangan mengenai negara Islam, katanya, sebetulnya berdasarkan klaim yang keliru, sebab prinsip-prinsip syari'ah yang akan diterapkan oleh negara pada dasarnya hanya merepresentasikan pandangan elite, yang akhirnya menjadi kebijakan negara. Padahal, katanya, public reason-lah yang seharusnya menjadi acuannya. Jadi, jangan campur adukkan politik dengan Agama!

Muhammad Sa'id al-Asymawi (1932-2013) juga melihat pencampur-adukan ini sebagai ancaman, sehingga ia pun mengkritik keras sakralitas politik. Politik harus bersih dari Agama.

Sebab, lewat bukunya al-Islm al-Siysiy, ia mengingatkan alih-alih memberi pencerahan tentang tujuan-tujuan Islam yang sebenar-benarnya untuk direalisasikan melalui jalur politik dan pemerintahan yang akan menundukkan politik kepada nilai-nilai Islam, yang terjadi justru eksploitasi Islam oleh partai-partai politik dan kepentingan kelompok yang menundukkan Islam tidak hanya kepada kepentingan kapitalis, tapi juga politik praktis. Jadi, jangan campur adukkan politik dengan Agama!

Sebelumnya dengan nada keras, Khalid Muhammad Khalid (1920-1996) dalam Min Hun Nabda' mengatakan bahwa pemerintahan yang menyatukan antara agama dan negara tidak berbeda halnya dengan sistem Katholik Roma pada abad Pertengahan Eropa.

Penyebab utama "penyatuan" itu, selain keroposnya kondisi sosial ekonomi umat Islam dan hegemoni Barat, juga munculnya karakter "kependetaan" Muslim yang mengeksploitasi spiritualitas rakyat awam dan ketaatan mereka pada agama di satu pihak, seraya tetap mempertahankan martabat sosial para elit di pihak lain. Ini bentuk pembodohan publik. Jadi, jangan campur adukkan politik dengan Agama!

Bila dilacak lebih jauh, 'Al 'Abd al-Rziq (1888-1966) dianggap orang pertama yang mengangkat wacana ini. Ia yang menyuarakan bahwa Islam harus dibersihkan dari hal-hal yang membuatnya tidak suci, karena Islam merupakan da'wah dniyyah dan da'wah qudsiyyah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline