"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Siapapun yang pernah membaca karya-karyanya setidaknya sepakat bahwa Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan terbaik yang dimiliki bangsa ini. Sebagaimana yang Pram katakan dalam kutipan di atas, namanya tetap abadi bersama karya-karyanya.
Karya-karya Pram adalah kelindan antara sejarah dan nilai-nilai kemanusiaan. Disadari atau tidak, ada jejak feminisme dalam karya-karyanya.
Ketertindasan yang dialami tokoh-tokoh perempuan ciptaannya mampu menumbuhkan simpati sekaligus inspirasi lewat perlawanan yang mereka lakukan.
Yang paling terkenal tentu saja kisah Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia. Ia adalah seorang perempuan yang diambil sebagai gundik Herman Mellema di usia yang masih sangat muda. Di masa itu, status gundik atau biasa disebut nyai, menjadikan perempuan tak lebih dari sekadar alat pemuas nafsu.
Masyarakat memandang mereka sebagai perempuan hina. Padahal tak jarang perempuan-perempuan itu menjadi gundik karena dipaksa dan dijebak.
Tidak ada kejelasan nasib dan masa depan bagi para gundik. Jika tuan mereka baik, mereka bisa hidup enak, tapi jika tuan mereka sudah bosan, mereka akan dibuang dan digantikan dengan perempuan lain.
Nyai Ontosoroh adalah gundik yang cukup beruntung. Ia mendapatkan tuan yang mengajarkannya banyak hal, mulai dari baca-tulis, berbahasa Belanda sampai ilmu bisnis.
Itulah yang akhirnya membuat Nyai Ontosoroh berubah dari seorang perempuan yang tidak berpendidikan menjadi pengusaha sukses yang memimpin perusahaan Boerderij Buitenzorg.
Nyai Ontosoroh bukan hanya ibu mertua Minke, melainkan juga berperan sebagai mentor yang berpengaruh terhadap perkembangan kesadaran intelektual menantunya. Tanpa pendidikan formal, ia bahkan bisa menjadi guru yang lebih baik ketimbang guru-guru Minke di HBS.