Lihat ke Halaman Asli

Luna Septalisa

TERVERIFIKASI

Pembelajar Seumur Hidup

Mengapa Budaya Kekerasan di Sekolah Sulit Dihilangkan?

Diperbarui: 6 Oktober 2024   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

seorang anak menyampaikan pesan stop bullying-photo by RDNE Stock Project

Entah sudah berapa kali kita mendengar atau menyaksikan berita tentang anak-anak korban kekerasan di sekolah. Sebagian mengantarkan korbannya pada ajal, sedangkan sebagian lainnya dipaksa hidup dengan trauma. Kekerasan dalam dunia pendidikan bukan hanya terjadi di tingkat sekolah, melainkan juga di tingkat universitas. Bahkan di tingkat pendidikan profesi pun ada perundungan, seperti yang terjadi pada dr. Aulia Risma, seorang dokter muda yang kematiannya disinyalir salah satunya akibat perundungan dari para seniornya di lingkungan akademis Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip).

Guru yang seharusnya bisa menjadi orangtua kedua, kadang tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya sebagai orang dewasa yang patut untuk "digugu lan ditiru". Bukannya mengambil tindakan agar jangan sampai ada siswa-siswi yang takut ke sekolah karena perundungan, guru malah melindungi, bahkan dirinya sendiri ikut menjadi pelaku. Anda ingat kan, kejadian siswa SMP di Temanggung yang membakar sekolahnya sendiri karena sakit hati dirisak teman-teman dan gurunya? Ironisnya, pihak sekolah bukannya introspeksi, meminta maaf dan bertanggung jawab, malah mengatai anak itu "caper" alias cari perhatian.

Baru-baru ini beredar video guru dan pelajar SMA berinisial P di Gorontalo yang menjadi sorotan publik. Keduanya sama-sama dikeluarkan dari sekolah karena dianggap merusak nama baik institusi. Tak sedikit orang yang menganggap hubungan keduanya adalah "suka sama suka". Sayangnya, tidak banyak yang mampu atau mau memahami bahwa di balik kasus ini ada ketimpangan relasi kuasa yang membuat P terjebak dalam relasi yang penuh manipulasi dan kekerasan.

Berkaca dari kasus-kasus yang pernah terjadi, apa yang menyebabkan budaya kekerasan di sekolah sulit dihilangkan?


Pertama, sekolah menormalisasi budaya kekerasan


Ketika ada murid melaporkan pada gurunya bahwa ia sering diejek, barang-barangnya disembunyikan atau diambil tanpa izin, rambut atau jilbab ditarik-tarik oleh teman sekelasnya, respon guru adalah "Alah gitu aja kok baper? Mereka cuma bercanda kali". Tentu saja respon seperti ini bukanlah yang diharapkan oleh si murid.

Banyak orang, termasuk dalam hal ini guru di sekolah, yang menganggap bahwa perundungan hanya sebatas kekerasan fisik. Selama murid tersebut tidak dipukul, ditendang atau dilukai tubuhnya, maka itu tidak dianggap sebagai kekerasan. Padahal kekerasan bisa hadir dalam berbagai bentuk, termasuk juga kekerasan verbal, psikologis dan seksual.

Saya pikir ada perbedaan mendasar yang---mirisnya---banyak tidak dipahami orang antara bercanda dan merisak. Candaan seharusnya membuat orang bahagia dan terhibur, bukan malah membuat harga diri dan mentalnya hancur.

Kedua, tidak ada regulasi yang jelas mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah


Apa yang sering dijadikan pertimbangan oleh para orangtua ketika mencarikan sekolah untuk anaknya? Jarak yang dekat dari rumah? Biaya pendidikan? Prestise sekolah? Adakah yang menjadikan respon dan cara penanganan sekolah terkait perundungan sebagai bahan pertimbangan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline