Lihat ke Halaman Asli

Luna Septalisa

TERVERIFIKASI

Pembelajar Seumur Hidup

Mencatat Kisah Keluarga Tapol Lewat Novel "Namaku Alam"

Diperbarui: 27 Oktober 2023   20:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sampul depan Novel "Namaku Alam" karya Leila S. Chudori-sumber gambar: dokpri Luna Septalisa

"Mengapa kita jarang percaya pada sejarah?" 

Pertanyaan ini tidak hanya menghentak kesadaran murid-murid kelas 2A SMA Putra Nusa, tapi juga saya sebagai pembaca. "Sejarah ditulis oleh pemenang", pepatah yang sering kita dengar. Namun, bisakah kita menuliskan ulang, seandainya sejarah yang ditulis oleh "pemenang" ternyata banyak mengandung tanda tanya dan muslihat? 

Katanya September itu ceria, tapi tidak demikian bagi sebagian masyarakat Indonesia dengan identitas mantan tahanan politik (tapol) dan/atau keluarga tapol. 

Kutipan dialog yang saya jadikan pembuka artikel ini adalah bagian dari bab pertama novel terbaru karya Leila S. keluaChudori, Namaku Alam (jilid 1). Novel yang sudah dua kali cetak ini merupakan spin off dari novel Pulang yang terbit pada 2012. 

Meski berhubungan dengan sejarah 1965, fokus penceritaan kedua novel tersebut berbeda. Jika Pulang (2012) berkisah tentang kehidupan para eksil di luar negeri, Namaku Alam (2023) mengangkat kisah tentang anak-anak tapol di Indonesia. 

Novel setebal 438 halaman ini berkisah tentang masa kecil hingga remaja sang tokoh utama, Segara Alam, anak Hananto Prawiro--seorang jurnalis yang karena kedekatannya dengan Lekra--dieksekusi pada 1970. 

Sejak ayahnya menjadi buronan selama tahun 1965-1968, rumahnya sering disatroni, baik aparat berseragam maupun berpakaian sipil yang menanyakan keberadaan ayahnya. 

Sejak kecil hidup Alam sudah diliputi dengan kegelapan. Mulai dari ditodong senapan saat usianya baru 3 tahun, dihina sepupunya sebagai "anak pengkhianat negara" sampai terlibat perkelahian dengan anak pengusaha besar yang menyebabkan Alam dan sahabatnya, Bimo Nugroho, pindah sekolah. 

Semua drama dan kengerian dalam hidupnya diperparah dengan photographic memory yang dimilikinya. Di saat banyak orang mengagumi daya ingatnya yang luar biasa itu, Alam justru menganggapnya sebagai kutukan. 

Bagaimana Negara Melanggengkan Kekerasan Pada Tapol dan Keluarganya? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline