Mantan Presiden AS, John F. Kennedy pernah berujar, "Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan pada negara". Kutipan legendaris ini seolah dijadikan alat untuk menagih dan mempertanyakan nasionalisme masyarakat. Namun, masih relevankah kutipan tersebut dengan fenomena WNI pindah kewarganegaraan yang sedang ramai belakangan ini?
Meski baru ramai belakangan ini, sebenarnya fenomena WNI pindah kewarganegaraan bukan hal baru. Ia sudah ada sejak abad ke-20 dan dilandasi oleh berbagai faktor.
Di zaman sebelum hingga awal kemerdekaan, perpindahan warga negara ke negara lain banyak didorong oleh faktor perdagangan dan peperangan.
Perpindahan kewarganegaraan juga terpaksa dialami oleh para eksil 1965 yang tidak dapat kembali ke Indonesia karena geger politik tanah air saat itu.
Di era modern, perpindahan kewarganegaraan lebih sering dipengaruhi oleh kebutuhan untuk mencari penghidupan yang lebih baik dan layak. Entah itu dalam hal pendidikan, pekerjaan, ketersediaan infrastruktur atau fasilitas publik maupun alasan-alasan personal lainnya.
Namun masalah pindah kewarganegaraan ini menuai pro kontra. Tidak sedikit dari kelompok yang kontra menyebut mereka tidak nasionalis.
Alih-alih melabeli mereka tidak nasionalis, perpindahan kewarganegaraan para WNI seharusnya dapat dijadikan bahan introspeksi dan evaluasi para pemangku kebijakan di negara ini.
Pertama, kultur birokrasi dan pelayanan publik yang berbelit-belit
Salah satu alasan yang membuat WNI merasa nyaman hidup di negara perantauannya adalah fasilitas dan pelayanan publik yang berkualitas.
Sistem transportasi umum yang terintegrasi dan mampu menjangkau banyak daerah, sistem pendidikan yang memberdayakan anak didik, penyaluran bantuan sosial yang tepat sasaran, kinerja pelayan masyarakat yang cepat dan tanggap adalah beberapa hal yang telah mampu disediakan oleh negara maju untuk menunjang kehidupan masyarakatnya.