Pernah tidak, teman-teman merasa bersalah setelah menyuarakan sesuatu atau memprotes peraturan, kebijakan atau perilaku orang lain yang merugikan banyak pihak? Biasanya perasaan bersalah tersebut muncul ketika apa yang disuarakan justru berbuntut masalah lain.
Misalnya, pekerja atau buruh yang mempertanyakan upah yang tidak dibayarkan tepat waktu. Bukannya pemberi kerja sadar diri dan segera membayarkan upah, pekerja atau buruh yang protes malah diberhentikan dari pekerjaannya. Kalau tidak diberhentikan, minimal pekerja tersebut akan dicaci-maki oleh atasan dan dicap "rewel".
Seorang istri yang uang hasil kerja keras sehari-harinya dipakai suaminya untuk main judi slot, alih-alih untuk membeli kebutuhan pokok dan menyekolahkan anak. Kemudian, suami yang tidak tahu diri seperti itu akan mengatakan atau melakukan sesuatu yang membuat istri merasa bersalah karena sudah marah-marah, seperti berkata-kata kasar atau bahkan melakukan kekerasan fisik.
Teman-teman yang sering terlibat atau menjadi penonton dari debat kusir di media sosial, misalnya antara kubu feminis vs anti feminis, seringkali bakal menemukan komentar-komentar dan ungahan-unggahan yang menyerang personal (bukan argumen) para feminis.
Mereka mengatai feminis itu SJW (di sinilah SJW yang sebenarnya bermakna positif jadi mengalami peyorasi), galak, pembenci laki-laki (man hater), lesbian dan berbagai label negatif maupun serangan personal lainnya. Kalaupun ada yang menyerang argumennya, tak jarang serangannya malah bersifat ad hominem, whataboutism dan berbagai jenis kesesatan berpikir (logical fallacy) lainnya.
Nah, tiga ilustrasi di atas tadi adalah contoh dari tone policing. Tone policing adalah taktik percakapan yang menolak ide-ide yang dikomunikasikan dengan rasa marah, frustrasi, sedih, takut atau bermuatan emosional (1).
Mengutip dari feminisminindia.com, tone policing juga bisa diartikan sebagai tindakan seseorang yang mencoba untuk mengurangi validitas dan mengabaikan pentingnya suatu pernyataan yang disampaikan dengan menyerang nada suara si penyampai pesan, bukan pesan itu sendiri. Taktik seperti ini biasa dipakai, baik di rumah tangga, lingkungan pendidikan, pekerjaan dan yang paling signifikan adalah dalam protes atau kritik yang diajukan kepada orang-orang berprivilese. Dalam kehidupan sosial, tone policing merupakan salah satu bentuk opresi yang ditujukan untuk melemahkan dan membungkam kritik. (2)
Mayoritas orang kritis dan vokal, di mana saja berada, sebenarnya tidak asing dengan perlakuan ini. Coba deh, lihat bagaimana perlakuan yang didapat masyarakat yang mengkritik kebijakan pemerintah. Pengritiknya dikriminalisasi dan selalu saja ada beberapa pihak yang akan mengatakan kalimat sakti berikut.
"Bisanya kritik doang. Kasih solusi juga dong!"
"Mengkritik boleh, tapi harus santun."