Lihat ke Halaman Asli

Luna Septalisa

TERVERIFIKASI

Pembelajar Seumur Hidup

Makna Puasa Ramadan di Era Digital

Diperbarui: 1 April 2023   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

photo by Ketut Subiyanto from pexels

Puasa sejatinya tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga harus menahan anggota tubuh, hati dan pikiran dari hal-hal yang dapat membuat puasa menjadi sia-sia. Ada banyak dimensi sosial yang dapat ditemukan dari ibadah puasa, seperti keikhlasan dalam beramal saleh, kesabaran dalam mengendalikan amarah, mengasah empati kepada orang-orang miskin dan sebagainya. Dengan demikian, setelah Ramadan berakhir, seharusnya kita bisa menjadi orang yang lebih dekat kepada Tuhan dan peduli sesama.

Sebagaimana Tuhan akan menguji keimanan orang-orang beriman, ibadah puasa yang kita jalankan juga tidak lepas dari ujian. Terlebih di era digital, godaan itu semakin beragam dan menantang. 

Perkembangan teknologi telah menyajikan lebih banyak pilihan konten digital, baik yang bersifat edukatif maupun hiburan, dari yang bermanfaat sampai tidak bermanfaat kepada kita. Dengan semakin beragamnya pilihan itulah kita dituntut untuk mampu memilih dan memilah, mana yang baik dan buruk.

Di era digital, puasa bisa juga dimaknai dengan kemampuan untuk mengendalikan jari, yang akan sama berbahayanya dengan lisan apabila tidak dijaga. Sebelum ada media sosial, fitnah bisa tersebar dari mulut ke mulut. Setelah ada media sosial, fitnah tersebar dengan jangkauan yang lebih luas dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya hanya dengan menekan tombol share atau bagikan. 

Jika boleh saya ringkas, puasa seharusnya juga bisa menjadi kontrol atas tiga hal berikut di dunia maya. 

Pertama, menahan jari untuk tidak berkomentar, membagikan, menyukai, mengikuti dan mengonsumsi konten-konten media sosial yang negatif

ilustrasi melihat-lihat unggahan konten di medsos-photo by plann from pexels

Mungkin pembaca sekalian ada yang resah dan bertanya-tanya, mengapa konten tidak berfaedah justru lebih banyak penontonnya ketimbang konten yang berfaedah? Mengapa kanal YouTube milik youtuber, influencer, pembuat konten atau apapun kita menyebutnya--yang suka menjual sensasi punya lebih banyak pengikut dibandingkan yang menyajikan tontonan berkualitas? 

Pakai saja logika hukum permintaan-penawaran. Selama konten-konten tidak berfaedah masih laku, berarti masih banyak warganet yang seleranya semenyedihkan itu. Karena merasa mendapat banyak dukungan, pembuat konten yang bersangkutan akan terus memproduksi konten-konten sampah. 

Di era digital, kebaikan maupun keburukan itu mudah tersebar dan jadi tren. Demi mencegah kerusakan yang lebih besar, alangkah baiknya jika di bulan Ramadan ini kita melatih jari kita untuk tidak turut menjadi agen yang melanggengkan dan mempromosikan berita bohong, ujaran kebencian, komentar negatif, pelecehan dan kekerasan di dunia maya serta unggahan-unggahan tidak bermutu lainnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline