Lihat ke Halaman Asli

Luna Septalisa

TERVERIFIKASI

Pembelajar Seumur Hidup

Pengunduran Diri Jacinda Ardern dan Kepemimpinan Perempuan yang Serba Salah

Diperbarui: 18 Februari 2023   04:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jacinda Ardern during her resignation announcement on Jan 19, 2023-source: AFP Photo via TVNZ via AFPTV

"Saya tahu apa yang dibutuhkan pekerjaan ini, dan saya tahu bahwa saya tidak lagi memiliki cukup energi di dalam tangki untuk melakukannya dengan baik." 

Begitulah kiranya terjemahan dari penggalan pidato pengunduran diri Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, yang dikutip oleh berbagai media. Ardern mengundurkan diri bukan karena terlibat skandal atau ketidak kompetenan dalam menjalankan roda pemerintahan. Ia mundur karena merasa "sudah tidak punya cukup energi" untuk menjalankan tugasnya sebagai pemimpin (baca: burnout). 

Pengunduran diri Ardern disesalkan oleh mereka yang mengaguminya. Seorang politisi perempuan, muda dan mampu menunjukkan pada dunia bagaimana kepemimpinan suatu negara dijalankan dengan penuh strategi sekaligus empati. 

Ardern telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin dengan kemampuan manajemen krisis yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Serangan teror di Christchurch, bencana alam besar di Whakaari-White dan pandemi Covid-19 adalah bukti dari kepemimpinannya yang banyak menuai pujian dan sorotan dunia. 

Namun, seperti yang dikatakannya, "tangkinya kosong" sedangkan Selandia Baru kini diterpa masalah yang tidak kalah pelik dan memusingkan pemerintah selama beberapa dekade seperti biaya perumahan, kemiskinan anak, ketidaksetaraan dan krisis iklim. 

Beberapa pengkritiknya yang berbahagia (termasuk di dalamnya adalah orang-orang misoginis) atas pengunduran dirinya menilai bahwa alasan burnout adalah cara Ardern untuk menyelamatkan sisa-sisa reputasi politiknya. 

Dunia Politik yang Tidak Ramah Perempuan 

Banyak yang menilai pengunduran diri Ardern ini sebagai tanda bahwa dunia politik belum bisa menyediakan ruang aman bagi perempuan. Sebab, Ardern dan politisi perempuan lainnya seringkali harus menghadapi rentetan ancaman pembunuhan dan pemerkosaan, misoginisme, seksisme dan komentar atau sikap orang-orang yang meragukan kompetensinya. 

Dalam sebuah pertemuan kenegaraan dengan Perdana Menteri Finlandia, Sanna Marin, di Auckland, seorang reporter bertanya pada Ardern apakah pertemuan keduanya didasarkan pada kesamaan tertentu seperti usia (sama-sama masih muda) dan jenis kelamin.

Sungguh pertanyaan yang mengandung ageisme sekaligus seksisme. Mungkin reporter ini menyamakan pertemuan antara Ardern dan Marin dengan pertemuan emak-emak gosip lagi belanja di tukang sayur.

Pertanyaan itu kemudian dibalas oleh Ardern dengan senyuman dan jawaban yang cerdas, "Pertanyaan pertama saya adalah apakah kalau Barack Obama (mantan Presiden AS) dan John Key (mantan PM Selandia Baru) mengadakan pertemuan itu karena didasarkan pada kesamaan usia?", Mengingat jarak usia dua mantan pemimpin itu hanya berbeda lima hari. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline