Lihat ke Halaman Asli

Luna Septalisa

TERVERIFIKASI

Pembelajar Seumur Hidup

Belajar Moderasi Beragama dari Perspektif Gereja Katolik

Diperbarui: 16 Desember 2022   14:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dialog kerukunan intern antar umat dan moderasi beragama oleh penyelenggara Katolik KEMENAG Kota Yogyakarta-sumber: yogyakarta.kemenag.go.id

Selain terkenal akan kekayaan dan keindahan alamnya, Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beragam suku, ras, agama, dan budaya.

Di satu sisi, keragaman adalah anugerah sedangkan di sisi lain keragaman bisa jadi musibah jika tak pandai merawat dan menjaganya. Beberapa kasus seperti intoleransi, diskriminasi, politisasi agama hingga terorisme menjadi ujian dan tantangan bagi keragaman di Indonesia.

Meski dalam masyarakat yang beragam ini rentan terjadi konflik, moderasi beragama telah mampu membuktikan perannya dalam mengatasi dan mencegah agar konflik tidak semakin meluas serta mengancam persatuan bangsa. Saat ini, moderasi beragama bahkan menjadi salah satu program prioritas yang selalu digaungkan oleh Kementerian Agama (KEMENAG) RI. 

Moderasi adalah kata sifat yang merupakan turunan dari kata moderation yang berarti tidak berlebih-lebihan atau sedang. Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi moderasi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman.

Ketika kata 'moderasi' disandingkan dengan kata 'beragama' sehingga menjadi moderasi beragama, maknanya menjadi suatu sikap mengurangi kekerasan atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama.

Namun, dalam praktiknya, moderasi beragama kerap disalahpahami oleh sebagian orang sebagai kompromi keyakinan teologis beragama dengan pemeluk agama lain. Orang yang bersikap moderat dalam beragama sering dianggap tidak teguh pendirian atau tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agamanya.

Padahal, bersikap moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang bersikap moderat dalam beragama akan menerima dan menghargai setiap perbedaan tapi tetap teguh dalam memegang keimanan dan menjalani ritual pokok agama.

Moderasi beragama bukanlah monopoli atau hanya diajarkan dalam agama tertentu. Dalam perspektif Gereja Katolik misalnya, mereka menyebut diri sebagai "persekutuan iman, harapan, dan cinta kasih". Iman yang menggerakkan hidup, memberi dasar kepada harapan dan dinyatakan dalam cinta kasih.

Istilah "moderat" memang tidak biasa dalam Gereja Katolik. Istilah yang dipakai adalah "terbuka" terhadap "fundamentalis" dan "tradisionalis" (yang menolak pembaruan dalam pengertian Gereja Katolik). Konsili Vatikan II pada tahun 1962-1965 menjadi momentum penting bagi Gereja universal dalam membangun relasi dengan agama-agama lain. Konsili ini juga menjadi semacam pengesahan atas perjalanan panjang Gereja Katolik ke pengertian diri dan kekristenan yang lebih terbuka atau lebih "moderat".

Dekrit Nostra Aetate (NA) merupakan dekrit penting dalam Konsili Vatikan II yang secara khusus berbicara tentang hubungan antara Gereja dengan agama-agama non kristen. Melalui dekrit inilah Gereja Katolik mengakui realitas pluralisme religius dan membuka diri terhadap kebenaran yang terdapat dalam agama-agama non kristen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline