Baru-baru ini media heboh dengan kabar KDRT yang dialami oleh Lesti Kejora. Sang suami, Rizki Billar dikabarkan melakukan kekerasan fisik terhadap Lesti, seperti mendorong, mencekik dan membanting.
Semuanya berawal dari Lesti yang meminta pada Billar untuk dipulangkan ke orangtua Lesti setelah mengetahui kalau Billar selingkuh.
Apa yang menimpa Lesti ini menambah panjang daftar kasus KDRT di Indonesia. Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 Komnas Perempuan yang diterbitkan pada 5 Maret 2021 menunjukkan sepanjang tahun 2020 terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Dari 299.911 kasus ini, sebanyak 291.677 kasus ditangani oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama, 8.234 kasus oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan dan 2.389 kasus oleh Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan.
Dari 8.234 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, kekerasan di ranah personal atau disebut KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) menempati urutan tertinggi dengan jumlah 6.480 kasus (79%), dengan kekerasan terhadap istri di peringkat pertama, yaitu 3.221 kasus (50%).
Bentuk kekerasan yang paling mendominasi adalah kekerasan fisik dengan 2.025 kasus (31%), disusul oleh kekerasan seksual 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 kasus (28%) dan ekonomi 680 kasus (10%).
Jumlah yang tercatat ini bisa jadi lebih besar sebab ada juga kasus-kasus KDRT yang tidak dilaporkan. Penyelesaian secara kekeluargaan, meski dilakukan untuk menutupi aib, tidak menjamin di kemudian hari kejadian serupa tidak akan terulang kembali. Hal ini membuat KDRT menjadi fenomena gunung es dan seperti lingkaran setan yang sulit diputus.
Mengapa demikian?
Pertama, budaya patriarki yang menormalisasi KDRT
Dalam budaya patriarki, istri bukan diposisikan sebagai teman hidup dan mitra yang setara bagi suami. Ia diposisikan sebagai "pelayan" yang tidak boleh mengeluh.
Dituntut harus selalu bersih, rapi dan wangi. Tak peduli sebanyak apapun pekerjaannya dan selelah apapun fisik maupun mentalnya. Kalau tidak, nanti suami berpaling ke perempuan lain.