"Ibu memasak, ayah membaca koran."
Masih ingat kalimat ini (atau yang serupa) dalam pelajaran bahasa Indonesia zaman SD dulu? Nah, bagaimana kalau ada siswa yang membuat kalimat sebaliknya, "Ayah memasak..."?
Apa dia patut disalahkan karena dianggap menyalahi teori? Bisa saja kan, dia hanya menunjukkan realita di rumahnya bahwa ayahnya memang biasa memasak makanan untuk orang-orang serumah.
Bagaimana kalau tugas memasak, beberes dan mencuci biasa dilakukan bersama atau gantian antara ayah dan ibu? Atau bagaimana jika yang mengerjakan tugas-tugas rumah tangga itu adalah ART?
Baiklah, mungkin Anda pikir saya lebay dan overthinking. Namun, kasus seperti itu betulan ada.
Atau ketika guru mengajarkan bahwa "kucing makan tikus", tapi ada murid yang tidak sependapat karena nyatanya kucing peliharaannya gak doyan makan tikus. Boro-boro doyan, lihat aja takut.
Alhasil, karena jawaban tidak sesuai dengan yang diajarkan, jawabannya disalahkan.
Sampai di sini saya bisa memahami mengapa ada orang membenci sekolah (bukan pendidikan). Lha, buat apa susah-susah sekolah kalau kreativitas dan nalar kritis kita malah dibunuh oleh sistem yang berlaku di sekolah itu sendiri?
Tenang, saya tidak sedang memprovokasi adik-adik yang masih sekolah untuk berhenti sekolah.
Keengganan untuk menerima pengetahuan baru dan menghargai perbedaan pendapat nampaknya sudah ada sejak dulu. Tak jarang para tokoh intelektual, pembaru, kreator, termasuk orang-orang yang mendukung pandangan dan karya mereka harus berhadapan dengan otoritas yang lebih tinggi, seperti otoritas agama dan penguasa.