Perkembangan teknologi dan internet mendorong proses digitalisasi hampir dalam segala hal. Pandemi Covid-19 mempercepat digitalisasi ini. Hampir semua kegiatan yang biasanya dilakukan secara luring, seperti sekolah tatap muka, rapat atau pertemuan bisnis, seminar, silaturahmi dengan keluarga atau teman hingga kegiatan keagamaan yang bersifat komunal dilakukan dengan memanfaatkan teknologi.
Pemanfaatan teknologi untuk berbagai aktivitas seringkali dianggap lebih ramah lingkungan dibandingkan cara-cara konvensional.
Misalnya, mengirim berkas lamaran kerja yang dilakukan secara daring dianggap lebih ramah lingkungan karena paperless, sehingga mengurangi penebangan pohon untuk produksi kertas.
Atau belanja daring yang dianggap lebih ramah lingkungan karena tidak perlu berkendara---di mana bensin merupakan bahan bakar fosil yang menyebabkan polusi---sehingga mengurangi emisi karbon akibat pembakaran bahan bakar fosil.
Benarkah anggapan ini?
Perkembangan Teknologi Memicu Perubahan Iklim
Studi dari Universitas McMaster dalam Journal of Cleaner Production yang dirangkum oleh news.detik.com menyebutkan dalam kurun waktu antara 2010-2020, kontribusi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terhadap jejak karbon global diprediksi akan meningkat menjadi 14% pada 2040 mendatang.
Jejak karbon yang dihasilkan dari industri teknologi dilaporkan meningkat dari 1% pada tahun 2007 menjadi 3,5% pada tahun 2020. Secara absolut, nilai emisi tersebut mencapai 125 megaton ekuivalen CO2 per tahun (Mt-CO2e/tahun).
Pada industri teknologi, terutama industri ponsel pintar, 85-95 persen jejak karbonnya berasal dari proses produksi, mulai dari penambangan bahan baku (seperti kobalt untuk bahan baku baterai) hingga perakitan.
Fakta ini didukung oleh studi dari European Environmental Bureau tahun 2019 yang menunjukkan bahwa di Uni Eropa, industri ponsel pintar telah menyebabkan dampak iklim dengan menghasilkan 14,2 juta ton CO2.