Salah satu efek dari pandemi Covid-19 adalah terjadinya disrupsi teknologi. Banyak kegiatan yang dulu biasa dilakukan secara tatap muka, beralih menjadi virtual atau daring, seperti sekolah, belanja, bekerja hingga menonton konser musik.
Transformasi digital menjadi salah satu dari tiga isu utama selain kesehatan global dan energi berkelanjutan, yang akan dibahas dalam pertemuan G-20 2022. Pertemuan G-20 tahun ini akan berfokus pada pemulihan global pasca pandemi Covid-19 dengan mengusung tema "Recover Together, Recover Stronger".
Pandemi Covid-19 turut membantu akselerasi digital di Indonesia. Masyarakat yang sebelumnya jarang atau tidak terbiasa berinteraksi dengan teknologi, kini mulai akrab dan memanfaatkan teknologi untuk berbagai keperluan.
Namun, secepat apapun transformasi digital terjadi dan secanggih apapun teknologi berkembang, ia masih menyisakan beberapa masalah yang tidak boleh diabaikan. Salah satunya adalah teknologi atau dunia digital yang masih bias gender.
Bias Gender dalam Teknologi
"Teknologi by default tidak pernah netral. Di balik penciptaan dan pengembangannya, terdapat developer dan desainer teknologi yang merupakan laki-laki, kulit putih dan able bodied."
(Dhyta Caturani, feminis dan aktivis keamanan siber)
Pernahkah Anda mencoba mengetikkan kalimat di Google Translate (terjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris), seperti "Dia/Ia adalah seorangi lmuwan", "Dia/Ia adalah seorang CEO" atau "Dia/Ia adalah seorang insinyur"? Jika ya, bagaimana terjemahannya?
Bandingkan hasil terjemahan kalimat-kalimat tersebut dengan terjemahan (masih dalam bahasa Indonesia ke bahasa Inggris) dari kalimat berikut: "Dia/Ia adalah seorang perawat", "Dia/Ia adalah seorang pengasuh anak" atau "Dia/Ia adalah seorang guru TK".
Mungkin Anda akan berpikir bahwa itu hanya masalah bahasa, di mana dalam bahasa Indonesia, kata "Dia" atau "Ia" bersifat netral gender sehingga dapat merujuk pada laki-laki maupun perempuan. Bahkan kata "ia" dapat pula merujuk pada binatang, tumbuhan atau benda.
Sementara dalam bahasa Inggris, kita mengenal kata ganti "he" untuk menyebut "dia (laki-laki)" dan "she" untuk menyebut "dia (perempuan)".
Namun, kalau diperhatikan lagi, mengapa lebih banyak pekerjaan lapangan, laboratorium atau berhubungan dengan teknologi, yang dilekatkan pada jenis kelamin laki-laki (ditandai dengan penggunaan kata ganti "he" dalam terjemahan bahasa Inggris)?