Lihat ke Halaman Asli

Luna Septalisa

TERVERIFIKASI

Pembelajar Seumur Hidup

Mengulik Sejarah dan Alasan Indonesia Masih Bergantung pada Impor Kedelai

Diperbarui: 27 Februari 2022   20:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengulis sejarah dan alasan Indonesia masih bergantung pada impor kedelai. Foto: Kompas.com/Totok Wijayanto

Kedelai merupakan komoditas pertanian yang keberadaannya begitu penting bagi masyarakat Indonesia. Naiknya harga kedelai menuai reaksi dari para perajin tahu dan tempe dengan merencanakan aksi mogok selama 3 hari berturut-turut pada tanggal 21-23 Februari 2022.

Dilansir dari kompas.com (24/02/2022), berdasarkan data yang dilaporkan oleh Kementerian Perdagangan, kenaikan harga kedelai pada minggu pertama Februari 2022 sudah menyentuh angka 15,77 dolar AS per bushel atau Rp 11.240 per kg. Akibatnya, harga bahan pangan yang berbahan dasar kedelai, seperti tahu dan tempe turut mengalami kenaikan bahkan kelangkaan.

Tahu dan tempe sendiri merupakan makanan rakyat yang hampir selalu ada di meja makan, baik sebagai lauk maupun camilan. Sayangnya, kebutuhan kedelai nasional sebagian besar bergantung pada impor dari luar negeri.

Meskipun impor merupakan hal yang wajar dilakukan oleh sebuah negara, ketergantungan pada impor jadi tampak ironis bagi negara agraris seperti Indonesia. Seolah-olah impor adalah jalan pintas dan satu-satunya.

Lalu, sejak kapan Indonesia mulai bergantung pada impor kedelai? Apa sebenarnya masalah utama dari produksi kedelai di tanah air?

Sejarah impor kedelai Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak negara ini masih bernama Hindia Belanda. Pada tahun 1920-an Hindia Belanda menjadi salah satu pengimpor kedelai terbesar di dunia.

Di masa itu, pasokan kedelai lokal Hindia Belanda paling banyak dipenuhi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah ini, para perajin tahu dan tempe lebih banyak menggunakan kedelai lokal. Sementara di daerah yang lahan pertanian kedelainya lebih sedikit, seperti Jawa Barat, lebih memilih menggunakan kedelai impor.

Impor kedelai baru menurun ketika memasuki masa kemerdekaan. Produksi tempe pun turut menurun hingga era Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno.

Pada tahun 1972 Indonesia kembali mengimpor kedelai sebanyak 183 ton. Jumlah ini relatif lebih kecil daripada produksi dalam negeri yang mencapai 518.229 ton. Dengan kebutuhan 515.357 ton untuk 131 juta penduduk, Indonesia masih mengalami surplus kedelai sehingga mampu mengeskpor 3.055 ton kedelai.

Memasuki tahun 1976, tingkat konsumsi kedelai nasional naik hingga 692.969 ton. Nilai produksi juga mengalami kenaikan hingga 521.777 ton. Namun, kenaikan ini tidak sebanding dengan kebutuhan sehingga terjadi defisit konsumsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline