Lihat ke Halaman Asli

Luna Septalisa

TERVERIFIKASI

Pembelajar Seumur Hidup

Kekerasan Seksual di Pesantren: Penyebab dan Pencegahannya

Diperbarui: 16 Februari 2022   21:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi korban kekerasan seksual| Sumber gambar: Shutterstock diunduh dari Kompas.com

Lagi-lagi, kasus kekerasan seksual dalam dunia pendidikan kembali menjadi sorotan. Kali ini terjadi pada belasan santriwati sebuah pesantren di Bandung, Jawa Barat.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren seharusnya membuka mata kita bahwa pesantren atau lembaga pendidikan berbasis keagamaan bukanlah tempat suci yang bebas dari tindakan amoral, seperti yang dilakukan oleh Herry Wirawan alias HW.

Siaran pers Komnas Perempuan yang dirilis pada Oktober 2020 lalu menyebutkan bahwa kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan.

Pesantren atau lembaga pendidikan berbasis Islam menduduki peringkat kedua (dengan persentase 19%) sebagai institusi pendidikan yang paling sering terjadi kekerasan seksual setelah kampus atau perguruan tinggi.

Pelaku kekerasan seksual terbanyak adalah guru atau ustaz (43% atau 22 kasus), dosen (19% atau 10 kasus), kepala sekolah (15% atau 8 kasus), peserta didik lain (11% atau 6 kasus), pelatih (4% atau 2 kasus) dan pihak lain (5% atau 3 kasus).  (sumber: kompas.com)

Mungkin ada di antara Anda yang bertanya-tanya atau sulit percaya, bagaimana bisa di lembaga pendidikan berbasis keagamaan, seperti pesantren, ditemukan kasus kekerasan seksual?

Lalu, mungkinkah pendidikan seks tidak dapat diterima dalam kurikulum pendidikan pesantren?

Mengapa Kekerasan Seksual Dapat Terjadi di Pesantren?

Secara umum, kekerasan seksual, apa pun bentuknya, bisa terjadi dengan adanya relasi kuasa. 

Dalam dunia pendidikan, relasi kuasa bisa terjadi antara guru atau kepala sekolah dengan murid, dosen dengan mahasiswa, murid atau mahasiswa senior dengan junior, murid atau mahasiswa laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.

Relasi kuasa memungkinkan pelaku--yang biasanya merupakan orang dengan status sosial, jabatan, pengaruh atau gender yang dianggap lebih superior---untuk melecehkan orang-orang yang kedudukannya dianggap lebih rendah dan lemah, baik secara materi, status maupun fisik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline