Kamis, 2 September 2021 kemarin, pedangdut Saipul Jamil dibebaskan setelah menjalani hukuman 5 tahun penjara di LP Cipinang atas kasus kekerasan seksual terhadap dua bocah remaja.
Hari kebebasannya itu disambut dengan sambutan meriah bak atlet olimpiade yang baru saja menyabet medali emas. Bahkan ia sempat tampil kembali di layar kaca. Publik pun bereaksi dan ramai-ramai menyerukan aksi "boikot Saipul Jamil dari televisi" yang petisinya sudah ditandatangani oleh ratusan ribu orang.
Bersamaan dengan itu, kita juga dikejutkan dengan kasus perundungan dan pelecehan yang terjadi di tubuh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Kasus tersebut bahkan sudah terjadi sejak 9 tahun lalu. Sudah dilaporkan ke polisi namun baru ditanggapi setelah viral.
Belum reda kehebohan dua kasus tersebut, tim ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR mengusulkan perubahan nama RUU PKS menjadi RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dengan alasan kata "penghapusan" dinilai terlalu abstrak. Sementara frasa "Tindak Pidana" dianggap bisa memudahkan penegakan hukum.
Sayangnya, perubahan nama itu diikuti juga dengan penghapusan pasal-pasal penting, dari 128 pasal menjadi hanya 43 pasal.
DPR juga memangkas 9 jenis kekerasan seksual (pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual) yang terdapat dalam RUU PKS menjadi hanya 4 jenis (pemaksaan hubungan seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual dan pemaksaan kontrasepsi) dalam RUU TPKS.
Tindakan DPR ini tentu saja menuai protes dan kritik karena pasal-pasal yang seharusnya dapat mengakomodir hak-hak korban justru dipangkas. Hal ini dianggap sebagai langkah mundur atas perlawanan terhadap pelecehan seksual dan akan membuat korban menjadi semakin sulit untuk mendapat keadilan.
Mewajarkan Pelecehan Seksual
Harus diakui bahwa banyak dari kita yang menganggap pelecehan seksual bukan kejahatan serius.
Nggak perlu jauh-jauh sampai pemerkosaan segala deh, siul-siul ketika ada perempuan lewat (catcalling) dan candaan-candaan seksis aja dianggap normal, kok. Pelaku merasa apa yang dilakukannya cuma bercanda. Padahal yang mengalaminya merasa risih diperlakukan demikian. Giliran ditegur, malah dikatain baperan dan nggak asyik.