Lihat ke Halaman Asli

Luna Septalisa

TERVERIFIKASI

Pembelajar Seumur Hidup

Dari Kesedihan hingga Pertanyaan-pertanyaan Iseng Dalam Kepala: Bahan Bakar Saya dalam Merangkai Kata-kata

Diperbarui: 28 Mei 2021   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi-image by free photos from pixabay

Konon, seorang seniman dan pujangga yang sedang berada pada puncak ekstasenya, bisa tidak tidur semalaman atau berhari-hari untuk merampungkan sebuah karya. Karya mereka adalah media sekaligus cara mengomunikasikan emosi yang kuat yang timbul dari pengalaman fisik maupun spiritual.

Maka, tidak heran kalau mereka bisa bekerja seperti orang kesetanan hingga lupa makan, mandi dan tidur. Karena jika tidak segera dituntaskan, inspirasi itu akan menguap. Bagi seorang seniman dan pujangga, inspirasi itu mahal. Ia bagaikan harta karun berharga yang sayang sekali kalau dibiarkan lewat dan hilang begitu saja.

Kurang lebih begitu yang pernah saya dengar. Mohon maaf kalau kurang tepat karena saya bukan seniman atau pujangga.

Saya juga bukan seorang penulis. Bukan pula seseorang yang bekerja di bidang tulis-menulis. Saya hanya seseorang yang suka menulis dan sesekali mendapat keuntungan materil dari tulisan-tulisan tersebut.

Saya tidak begitu ingat kapan pertama kali saya mulai suka menulis. Mungkin sejak SMP, ketika saya bergabung di ekskul jurnalistik. Saat SMA pun saya mengambil ekskul yang sama. Waktu kuliah saya sempat diberi amanah oleh Ketua Divisi Riset dan Kajian untuk menjadi penanggung jawab buletin triwulanan di organisasi tempat saya bergabung.

Jejak pemikiran saya sebenarnya bisa ditelusuri mulai dari tulisan-tulisan saya saat masih sekolah. Sayangnya, sedikit sekali yang bisa diselamatkan. Tahu begini, seharusnya saya dokumentasikan saja ya, biar tidak hilang.

Selepas kuliah dan mulai bekerja, saya tidak lagi aktif menulis. Entah karena kesibukan atau saya yang sok sibuk sehingga cari-cari alasan.

Hingga suatu ketika, saya mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan dalam hidup saya. Seandainya hal itu terjadi saat saya masih sekolah atau kuliah, saya lebih mudah melupakan rasa sakit itu dengan berkumpul, sambat dan hahahihi dengan teman-teman.

Tapi, karena teman-teman sudah banyak yang lulus, bekerja di kota lain bahkan ada yang sudah menikah, waktu bertemu dan berkumpul tentu tidak semudah saat kami masih berstatus pelajar atau mahasiswa. Sebenarnya saya bisa saja mengubungi mereka lewat chat, telepon atau video call.

Tapi, saya memilih tidak melakukannya karena tidak ingin mengganggu kesibukan mereka. Lebih tepatnya tidak ingin membebani siapa pun dengan masalah yang sedang saya hadapi. Alasan lain karena saya tidak suka terlihat lemah dan rapuh di depan orang-orang yang saya sayangi. Aih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline