Pada Bulan Oktober, yang bertepatan dengan Bulan Bahasa, Kompasiana mengajak Kompasianer untuk menuliskan pengalaman atau opininya tentang bahasa ngeblog.
Beberapa pihak mengungkapkan kekhawatirannya akan nasib bahasa Indonesia yang rawan dirusak dengan hadirnya bahasa ngeblog yang biasanya berisi bahasa gaul atau bahasa gado-gado (biasanya campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris atau disebut juga dengan Indonglish).
Padahal beberapa kata dalam bahasa asing tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Namun kebanyakan orang merasa lebih bangga menggunakan istilah-istilah asing karena dirasa lebih keren dan intelek.
Tulisan-tulisan yang jauh dari kaidah kebahasaan sehingga tampak berantakan, menimbulkan kekhawatiran apakah bahasa Indonesia masih diminati oleh kaum muda atau tidak.
Milenial dan Bahasa Gado-Gado
Sebenarnya fenomena mencampuradukkan bahasa tidak hanya terjadi pada masa sekarang. Dulu, ketika Indonesia masih dibawah pendudukan Belanda, generasi muda pribumi yang beruntung bisa mengenyam pendidikan juga kerap mencampuradukkan bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menandai identitas mereka sebagai kaum berpendidikan.
Sedangkan di masa sekarang, ada fenomena berbahasa di kalangan anak muda yang cukup unik dan ramai diperbincangkan, yaitu fenomena bahasa anak Jaksel. Bahasa anak Jaksel yang menggunakan campuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris ini identik dengan kata-kata seperti, "literally, which is, basically, confuse, even, to be honest, prefer, usually, sceptical" dan sebagainya.
Menurut Ivan Lanin, Wikipediawan pecinta bahasa Indonesia, fenomena bahasa gado-gado ala anak Jaksel ini dalam istilah linguistik disebut code mixing. Code mixing sendiri diperlukan ketika seseorang sedang belajar bahasa asing. Karena orang yang belajar bahasa asing sebagai bahasa kedua, ketiga dan seterusnya, memang biasanya masih sering terpengaruh dengan bahasa pertamanya dimana pengaruh bahasa pertama ini lebih kuat.
Misalnya, orang Indonesia yang belajar bahasa Inggris, ia mengatakan "I want to makan" alih-alih "I want to eat" karena ia belum tahu atau lupa bahwa bahasa Inggris dari makan adalah eat. Atau bule-bule yang sedang belajar bahasa Indonesia, mereka tentu tidak akan langsung fasih berbahasa Indonesia. Ada kalanya mereka juga masih mencampuradukkan antara bahasa pertamanya dengan bahasa Indonesia ketika mereka tidak tahu artinya dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini, code mixing diperbolehkan. Karena tujuannya adalah untuk belajar.
Namun, code mixing bisa jadi merusak jika dilakukan terus-menerus secara sengaja padahal sudah tahu padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, sudah tahu bahasa Indonesianya meeting adalah rapat. Tapi masih juga lebih memilih kata meeting dibandingkan rapat.