Lihat ke Halaman Asli

Lumiere

Pandiangan

2020 Masih Ada Perdagangan Orang

Diperbarui: 1 Februari 2020   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

istockphoto.com

Tentu mengagetkan bagi banyak pihak begitu mengetahui terungkapnya sindikat perdagangan orang di Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan. Melansir dari Okezone, bahwa pihak Kepolisian berhasil mengamankan tiga korban JO (15), NA (15), dan AS (17). Ketiga korban yang sedang menginjak usia remaja tersebut dipaksa untuk melayani para pria hidung belang.

Perdagangan orang memang telah menjadi hal klasik yang hingga saat ini masih saja terjadi. Sebenarnya, menjadi pertanyaan besar bagi stakeholder terkait perihal pencegahan dan pemberantasan perdagangan orang. Padahal, bila kita merujuk pada Pembukaan UUD 1945, tegas dikatakan bahwasannya salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk kejahatan termasuk kejahatan perdagangan orang merupakan hal mutlak yang harus dilakukan pemerintah, mengingat perdagangan orang ini merupakan suatu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.

Lihat saja mengenai pemberitaan yang beredar luas, tidak hanya terhadap kasus di Apartemen Kalibata City saja, namun banyak kasus-kasus atau tindakan perdagangan orang yang telah merenggut hak asasi seseorang untuk melakukan aktivitas seperti orang biasanya. Bentuk perenggutan hak asasi tersebut dapat kita sebut sebagai suatu bentuk eksploitasi.

Berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan. kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik secara fisik maupaun psikis.

Miris memang menyaksikan upaya pemerintah yang belum maksimal. Mau berapa banyak lagi masyarakat yang terjerumus dalam praktik perdagangan orang ini? Apalagi, tindak pidana perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang teroganisir. 

Hal tersebut tentu menjadi "warning" bagi pemerintah. Karena apabila suatu sindikat berjalan secara terorganisir, maka dapat saja lebih mudah dalam mengelabui para penegak hukum dalam menjalankan aksinya.

Belum lagi apabila kejahatan perdagangan orang ini dilakukan dengan bertopengkan korporasi. Tentu menjadi hal yang lebih rumit lagi dalam hal pembuktiannya. Maka dari itu, baiknya pemerintah harus lebih serius dan lebih gesit lagi untuk atasi perdagangan orang ini.

Membentuk gugus sebagai salah satu langkah mencegah dan memberantas tindak pidana perdagangan orang memang sudah ditawarkan dan telah termuat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Bahkan juga sudah ada Peraturan Presiden tentang Gugus Tugas sejak tahun 2008 silam. Mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) bahwa hingga Agustus 2019, sudah ada 32 provinsi dari 34 provinsi yang telah membentuk gugus tugas pencegahan dan penindakan tindak pidana perdagangan orang.

Gugus Tugas seyogyanya mengoordinasikan upaya pencegahan dan penangangan masalah tindak pidana perdagangan orang secara berjenjang dari Gugus Tugas Kota/Kabupaten ke Gugus Tugas Provinsi hingga Gugus Tugas Pusat. Idenya cemerlang bukan? Namun secemerlang apapun ide, kalau pelaksanaannya tidak optimal, ya, tidak akan dapat hasil yang memuaskan bukan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline