Lihat ke Halaman Asli

Alumnus Penantian

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

133376454813300570

Lima tahun yang hampir menyentuh kadaluwarsa. Kamu hadir dengan selembar ijazah di tangan kiri. Sedang tangan kebaikanmu yang kanan memegang karton persegi seukuran undangan pernikahan pada umumnya. Seorang pria yang kamu jumpai di bengkel lasnya yang berbau sangit, telah mengira itu adalah undangan sesi pemotretan.  dimana kamu akan tersenyum dengan jubah toga seiring fotografer menuntaskan hitungannya yang ke tiga. Ia salah, namun masih memaklumi dirinya yang tak mengenal dunia perkuliahan.

Tentang kuliah, ia lebih suka mengambil jurusan penantian. Mata kuliah yang tentu saja diselenggarakan Tuhan dengan universitas alamnya. Bersamanya ia kenyang dengan ilmu kesabaran, ikhlas, keyakinan dan bahagia tanpa menghitung untung rugi waktu yang dihabiskannya di jurusan penantian.

Tentang penantian, ia telah lekat dengan pekerjaan paling membosankan itu. Tiga tahun ia habiskan, hampir setiap pagi menanti bus AKAP yang mau mengantarnya ke sekolah hanya dengan 500 rupiah. Suatu ketika, bahkan sering ia terlambat dan kadang ia membolos. Hanya karena bus dengan cat paling kusam yang melintasi jalur pantura setiap pagi itu mogok. Kabar mogoknya datang keesokan harinya dari kondektur yang di dahinya terdapat dua lingkaran hitam masing-masing sebesar koin 500 yang ia bayarkan. Sebagian besar penumpang sepakat, bahwa si kondektur adalah ahli sujud. Bahkan, andai penumpang-penumpang itu dibekali hidung anjing. Mereka akan mendapati aroma lantai berbaur permadani pada dahi sang kondektur.

Yang paling membuatnya rela menanti bus itu adalah kalimat sang kondektur yang berhasil mencuci otaknya. Bahwa tak ada penantian yang sia-sia jika yang kau harap adalah bahagia. Ya, dengan kalimat itu ia tetap berbahagia meski harus menghabiskan waktu belajarnya di halte bus bersama para pengamen dan calo. Tidak membiarkan tinta bolpennya mubazir, ia mengisi huruf demi huruf kotak-kotak yang saling silang. Hanya karena bus dermawan itu tak melintas di halte penantiannya. Anggap saja ia kikir dengan ongkos sekolah yang ia sisihkan untuk membeli jewawut, makanan paling lezat untuk perkutut warisan almarhum bapaknya.

Seperti halnya dengan menantimu. Wanita yang telah berjanji akan kembali membawakan bahagia untuknya. Bahagiamu di selembar karton berwarna biru itu menjadi gelar kesekian untuk kuliah penantiannya. Untuk sesuatu yang enggan disia-siakan, ia haturkan do’a restu usai kamu membeberkan bermacam alas an yang berujung kata maaf.

Sumber gambar : Di sini

*Kota tua sacheon ( Korea kidul ) : 2012-05-18

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline