Lihat ke Halaman Asli

Teropong Warisan Bapak

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menyambut raja tata surya menyapa pagi, aku memanjat pohon mangga di buritan rumah. Leherku berkalung teropong, warisan bapak yang meninggal dalam sebuah peperangan 4 tahun silam. Ia yang jarang pulang dan belum sempat membuatkanku adik harus tewas saat baku tembak dengan saudara sebangsa yang ingin berpisah dari negri, atas nama kemerdekaan.

Hampir tak ada pagi yang tak kulewatkan di dahan pohon mangga yang setia menjadi singgasanaku. Sejak dulu, saat teropong yang berkalang di dadaku ini masih menjadi barang pinjaman dari bapak. Aku suka menyapa surya dari dekat dengan kekeran bapak. Melihat seisi desa dengan mata berbusana lensa. Lalu aku akhiri perkelanaan pandanganku di sebuah rumah berdinding gubug bagian atasnya, separuh lainnya berdinding susunan batu-bata yang direkatkan adonan semen, kapur dan pasir.

Sumur di belakang rumah itu yang menjadi sasaran kekerku. Di sumur itu aku melihat tangisan wanita kecil yang dimandikan ibunya setiap pagi. Seorang bocah yang dulu sering berjalan bersamaku menuju ke sekolah. Lalu ia pergi dibawa ibunya yang bosan dengan kemiskinan suaminya. Entah kemana ia pergi. Sejak saat itu, di kala pagi sumur di belakang rumah itu tak lagi basah oleh siraman air yang bercampur dengan air mata wanita kecil yang pernah ingin bersamaku selamanya . Ia pergi dengan meninggalkan luka kepada 2 lelaki, Aku dan Bapaknya. 15 tahun sudah, laki-laki itu setia menghuni rumahnya tanpa teman. Ia masih menunggu 2 orang wanita yang dicintainya akan kembali. Rumah itu semakin reot dan tampak semakin pendek. Pondasinya sudah terkubur tanah yang dibawa aliran air dikala hujan. Aku selalu berdo'a agar rumah yang berpenghuni seorang lelaki paruh baya itu tidak dikunjungi angin puting beliung. Sungguh dengan penuh kecemasan, aku berkeyakinan rumah itu akan roboh dengan mudah oleh angin yang mirip kerucut terbalik itu. Aku yang tertular keyakinan bapak itu, setia menanti di dahan pohon setiap pagi. Masih berharap wanita kecil itu kembali ke rumahnya. Dan pagi ini, seiring binar mentari yang sinarnya tertumpah di pelataran.Teropongku menangkap adegan seorang wanita muda yang tengah bersujud di hadapan lelaki yang sering mengeluarkan darah ketika batuk. Ia memeluk lelaki kerempeng itu dengan erat, pelukan yang juga hangat kurasakan dari kejauhan. Lastri, ia kembali ke rumahnya. Pagi ini rumah itu menjadi pemandangan paling indah yang ditangkap teropongku. Ia kembali karena cintanya kepada sang bapak. Ia hanyalah korban sandera dari ibunya yang memilih menukar kemiskinan dengan kebahagiaan semu dengan laki-laki kota. Aku mencoba menahan sekuat mungkin rinduku yang kini sedang bergemuruh di dadaku. Aku tetap di sini, di dahan pohon penantianku untuk Lastri. Membiarkan ia mengusap luka-luka bapaknya yang bertahun-tahun hidup sebatang kara. Kedua mataku masih bersetubuh dengan lensa bidik, enggan mengalihkan pandangan dari pelataran rumah pesakitan yang kini sedang dihelat adegan haru-biru : Bapak dan Anak. Adegan itu disudahi dengan lingkaran lengan lastri di pinggang bapaknya, ia memapah bapaknya yang lemah masuk ke dalam rumah. Aku kembali ke dahan pohon tatkala sang mentari menjelma menjadi mata dewa, begitu kata sang musisi legenda dalam sebuah lagunya. Masih dengan teropongku, ku arahkan benda kesayanganku itu ke rumah yang tadi pagi membuat mataku berkaca-kaca. Berharap adegan berlanjut, sembari aku mengumpulkan keberanianku untuk menemui Lastri. Kedua mataku sudah mencium lensa okuler, lalu lensa objektif mendekatkan pandanganku ke rumah Lastri. Apa yang aku lihat sore ini tidaklah seindah tadi pagi. Di depan rumah itu aku melihat sebuah mobil mewah teronggok. Seorang perempuan dengan dandanan yang tak pernah kulihat sebelumnya di kampung ini tengah menarik tangan Lastri . Tangan kanan Lastri menjulur hendak meraih tangan kanan bapaknya yang juga terjulur. Mirip permainan tarik tambang, Lastri menjadi rebutan. Seorang lelaki bertubuh gempal dengan perut mirip badut keluar dari mobil. Ia membantu peserta wanita tarik Lastri untuk mengalahkan pria penyakitan yang tak mampu berobat. Hasilnya sudah dapat ku duga sebelumnya. Lastri berhasil direbut wanita yang akhirnya aku kenali sebagai ibunya yang pernah membawanya kabur. Aku takut terlambat dan tak ingin penyesalan hinggap. Aku segera turun dari pohon, berlari menuju pelataran rumah Lastri. Aku terlambat, aku hanya sempat meneriakkan nama Lastri sesaat ia berlalu. Masih dengan wajah yang basah dengan air mata, ia memandangiku yang tengah membantu bapaknya berdiri. Aku tahu dari bibirmu kau menyebut namaku meski suaramu ditelan kaca jendela mobil. Untuk kedua kalinya, kau membuat aku dan bapakmu terluka.

*Ilustrasi minjem : Di sini

*Kota tua sacheon ( Korea Kidul ) : 2011-11-17




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline