Lihat ke Halaman Asli

Kenangan atas Hari-hari yang Tertinggal

Diperbarui: 7 April 2017   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

EvaDiya's Blog - WordPress.com

   “ ternyata masih hujan ”. Aku  selalu disini setiap kali hujan turun, tak begitu nyaman memang, karena aku masih bisa terkena hujan di tempat ini. Angin dingin memainkan anak rambutku yang tergerai, belum lagi sepatu yang ku kenakan habis kotor terkena cipratan hujan yang jatuh ke tanah.

Hampir setiap hujan aku membencinya, karena aku benci angin dinginnya, dan harus terjebak disini, di tempat menyebalkan, yang mengingatkanku dengan kenangan atas hari-hari yang tertinggal.

Aneh rasanya, di tengah keramaian seperti ini aku masih merasa kesepian, aku hampir dapat melihat setiap tetes hujan turun yang membasahi pejalan kaki maupun pengendara lain dalam slow mode.  Melihat mereka berlarian berusaha untuk tidak basah, menutupi kepala mereka dengan tas yang dibawa atau bahkan hanya dengan tangan kosong, berlarian kekendaraan mereka atau berteduh tuk sementara. Tapi bagaimana pun usahanya, mereka akan tetap basah atas kenyataan.

Alarm ponselku berbunyi. Terlihat tetes air hujan membasahi layarnya. “ sudah pukul 17:30 wib “  saatnya untuk ku pulang, membaur dengan pejalan kaki lain di tengah derasnya hujan. Itulah mengapa aku membenci hujan, karena aku tak suka jika harus merasakan pakaianku yang basah kuyub terguyur hujan. Bukan berarti aku tak bersyukur atas nikmat-Nya. Hanya saja aku membenci momen ini.

Tiba-tiba saja langkahku berhenti, tepat disebuah jembatan gantung yang dasarnya bisa mencapai 150 meter. Yaa … disinilah selanjutnya, tempat kenangan itu tertinggal. Sama seperti tempat sebelumnya. Aku menmbenci semua tempat bahkan semua yang ku lakukan saat bersamanya, aku membenci kenangan itu. Ketika aku harus mengingatnya ulang dan meninggalkan sakit yang mendalam.

Disinilah tempat terakhirnya bersamaku, karena setelah itu maut telah menjemputnya. Dia terjatuh ke jurang di tengah derasnya hujan, dan hujan pula yang menyertainya hingga wajahnya mencium dasar jurang, hujan telah menjadi saksi atas kematiannya. Hujan menjadi saksi bisu, atas alasanku untuk membenci hujan.

“ maaf telah membencimu selama ini”

“ aku mohon padamu yang waktu itu menjadi saksi, bisakah kau diam atas apa yang terjadi? “

“ biarkan dia pergi, bersama kenangannya yang terbawa hujan “

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline