Lihat ke Halaman Asli

Luluk Marifa

Read, read and read. than write, write and write.

Manusia-manusia Tamak

Diperbarui: 6 Juni 2024   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sudahkah semua kota di bumi hancur?" aku bertanya pada malaikat kehancuran setelah melihat hamparan bumi yang semula gedung-gedung pencakar langit dan pemukiman padat rebah jimpah.

"Belum, ada satu kota yang dibiarkan tetap ada meski beberapa bangunannya tak luput dari goncangan dahsyat tiupan sangkakala. Dengar-dengar seniormu di departemen kematian merencanakan sesuatu pada kota itu."

"Eh, merencanakan sesuatu?" aku mengernyitkan dahi tak paham, "ini nih resiko anggota termuda pasti selalu ditilapkan dan ketinggalan informasi." Aku mengeluh, menghembuskan nfas yang tak lagi lancar.

Malaikat kehancuran menyunggingkan senyum melihatku yang kelimpungan ketinggalan informasi. Aku segera berteportasi, melesat dengan kecepatan kilat menuju kota yang dimaksudkan itu, meninggalkan bukit tinggi tempat malaikat kehancuran memantau bumi yang sudah rata dengan tanah sejauh mata memandang.

"Eh, Sadda, kemari kau bantu aku."

Aku menghentikan gerakan teleportasiku memutar arah, demi mendengar suara meneriakkan namaku. "Eh, Senior," kataku menunduk hormat pada senior tingkat pertama di departemen kematian, tempatku bekerja selama dua ribu tahun terakhir yang kulihat di antara puing-puing gedung yang roboh.

"Kau bantu aku membawa raga yang masih bernyawa ini pada peti lipat itu dan kumpulkan mereka di kota terakhir. Yang lain boleh jadi sudah di sana."

"Apa yang anda rencanakan pada kota itu senior?" tanyaku memerhatikan wajah-wajah yang ditenteng seniorku itu. Wajah-wajah tak asing, jika diingat-ingat sepertinya mereka buronan malaikat departemen penyiksaan.

"Kau belum tau?"

Aku menggeleng tegas, memang aku belum tahu, jadi jujur saja. Meski boleh jadi aku akan menjadi bulan-bulanan malaikat lain perihal keluguanku yang lebih mirip kebodohan. Seniorku menghela nafas, bola mata hitamnya menatapku sedikit tajam.

"Kau selalu saja ketinggalan informasi." Dia mengeluh masih menenteng beberapa raga bernyawa untuk kemudian dimasukkan ke dalam peti lipat. Gerakannya cepat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline