Lihat ke Halaman Asli

Luluk Marifa

Read, read and read. than write, write and write.

Toko Buku Pengabul Pinta

Diperbarui: 4 Juni 2024   00:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI oleh Huy Phan/Pexels

"Aku ingin menjual semua buku ini!" Aku berseru di depan meja kasir, menghempaskan satu tas berukuran sedang berisi semua buku yang kumiliki ke atas meja. Meja itu memiliki tinggi sedadaku membatasi pengunjung dan pemilik toko buku itu. Sedang di bawahnya terletak meja berukuran sedang tempat pemilik toko tenggelam dalam buku-buku yang terhampar di hadapannya.

Kuatur nafasku yang masih terengah-engah, tak mudah membawa satu tas berisi buku-buku itu menuju lantai dua bangunan itu.
Lebih dari satu jam aku harus memutari jalanan yang sama, menajamkan penglihatan dan ingatan untuk menemukan toko buku yang tak pernah kudatangi lagi setelah lima belas tahun berlalu.

Toko buku yang sering kudatangi saat usiaku masih belia. Menginjak usia remaja, aku merantau ke pulau seberang, meneruskan sekolah hingga bekerja dan baru kembali ke kota kecil ini untuk mencari peruntungan yang lain. Atau setidaknya kembali, untuk memungut sisa-sisa kenangan yang akan kubangun lebih megah di masa depan.

Mimpi-mimpi itu ternyata harus kuberangus, buku-buku sialan itu tak memberiku apa-apa. Sesuatu yang dijanjikannya tak pernah sekalipun dapat kurengkuh penepatannya. Aku kehilangan rupiah demi rupiah yang kutabung untuk membelinya, mengabaikan kebutuhan yang lain. Mengabaikan kebutuhan sandangku, hingga pakaian yang kupunya dapat dihitung berapa helainya. Mengabaikan kebutuhan panganku, hingga tubuhku berdiri kurus kering, bahkan mungkin angin mampu menerbangkannya jauh mengelilingi dunia. Begitu juga aku mengabaikan kebutuhan skincare-ku, hingga dapat kau lihat wajahku yang beruntusan, berjerawat, hitam pula.

"Aku ingin menjual semua buku ini." Aku mengulang kalimatku, setelah menyadari tak ada respon dari seseorang yang duduk di meja kasir. Seseorang dengan rambut terurai hingga bahu, separuh rambut bagian atas diikat sembarang, menyisakan helaian yang sedikit menutup wajah dengan kacamata itu.

Aku benar-benar sudah muak dengan semua buku itu. Apa yang dikatakan orang-orang tentang buku adalah bualan semata. Buku adalah jendela dunia. Buku adalah sumber ilmu pengetahuan. Buku dapat membuat hidup menjadi lebih bijak. Buku adaah mercusuar dalam kegelapan. Aku sungguh tak mempercayainya kini, setelah hampir seperempat abad kuhabiskan waktu dengannya. Sia-sia. Aku masih mengingat jelas bagaimana orang-orang memandangku rendah ketika aku tak dapat memberikan sebuah jawaban atas pertanyaan yang mereka ajukan.

"Dia banyak membaca tapi kosong saja isi kepalanya, mungkin dia hanya ingin terlihat keren dengan membaca di saat orang lain mengobrol."

Semua kata yang kudengar terasa menusuk dan aku benar-benar merasa terjatuh ke dalam dasar jurang kegelapan. Sebuah kesegalapan yang kutakutkan keberadaannya. Padahal aku mengumpulkan lebih banyak ranting demi ranting, memadukan satu demi satu. Berharap paduan dari panasnya memercikkan api yang dapat menerangi dan menghangatkan sekitar. Namun, nyatanya yang kudapat tak demikian.

Aku kehilangan uangku dan aku kehilangan waktuku untuk pada akhirnya aku menyadari aku kehilangan kesederhanaan berpikirku  dari lembar demi lembar dan tumpukan demi tumpukan buku-buku itu. Aku merasa tersesat dalam labirin tak berujung, pemikiran yang semain rumit terurai.

"Aku menjual semua buku ini, Mbak. Dengar tidak sih," keluhku menghembuskan nafas sebal di masa sih telinganya, perlukah aku berteriak tepat di depan gendang telinganya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline