Lihat ke Halaman Asli

Saya Bukan Seorang Guru yang Baik

Diperbarui: 22 Februari 2016   15:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Coba Ibu pikirkan baik-baik apa yang telah saya sampaikan tadi.

 

Itulah kata-kata terakhir yang disampaika kepala sekolah yang masih terngiang-ngiang di benak saya seharian itu setelah saya keluar dari ruang kepala sekolah tempat penulis mengajar.

 

Pagi itu, penulis seperti biasa berangkat ke sekolah dimana penulis mengajar dengan mengendarai sepeda motor bututnya. Karena hari itu adalah hari terakhir penilaian lomba pembuatan taman antar kelas, penulis selaku wali kelas datang lebih awal. Setelah memarkir sepeda motor di tempat parkir guru dan karyawan, penulis langsung menuju ke ruang tata usaha untuk melakukan check in dengan finger print. Setelahnya, penulis langsung menuju kelas dimana penulis sebagai wali kelasnya.

 

Setibanya di kelas, penulis melihat anak-anak sudah banyak yang hadir walaupun hari itu tidak ada kegiatan belajar mengajar. Hari itu memang dimanfaatkan untuk pelaksanaan berbagai macam lomba antar kelas. Maklum saja mendekati penerimaan rapor semester. Para pengajar sibuk mempersiapkan nilai dan rapor peserta didik. Lha penulis kok malah mengurusi anak-anak didiknya? Penulis sudah menyelesaikan tugas menyetorkan nilai ke wali kelas lain dan mencetak rapor peserta didik dari kelas dimana penulis sebagai wali kelasnya. Tinggal meminta tanda tangan kepala sekolah dan stempel sekolah saja. Penulis pikir hal itu bisa dilakukan agak siangan mengingat biasanya kepala sekolah hadir ke sekolah agak siang. Penulis langsung mengajak anak-anak untuk bekerja sama menata taman di depan kelas. Berbagai wadah daur ulang seperti botol bekas dan karung goni bekas digunakan sebagai pot tanaman. Maklum saja memang tema tamannya adalah memanfaatkan barang tidak terpakai untuk menciptakan keindahan. Selain itu juga irit dalam pembiayaan.

 

Ketika masih asyik menata taman bersama anak-anak, tiba-tiba teman sejawat penulis menghampiri penulis dengan tergesa-gesa dan panik sambil memanggil-panggil nama penulis. Sontak penulis bertanya namun dengan nada untuk menenangkan beliau, “wonten napa, bu? (ada apa, bu? – pen.)”. Sambil mengatur napas, beliau mengataka, “gawat, bu, ada kabar tidak menyenangkan. Nilai yang njenengan setor ke bu A, menjadi masalah. Nilainya banyak (B-)nya.”. Sambil tersenyum penulis menjawab dengan tenang, “Inggih, bu, memang benar, nilai anak-anak memang banyak (B-)nya. Tidak hanya di kelas itu saja kok, bu. Di kelas njenengan juga. Memangnya kenapa, bu?”. Teman sejawat penulis mengatakan bahwa nilai B- adalah nilai di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal – nilai terendah yang harus dicapai oleh peserta didik sebagai bukti bahwa peserta didik telah menguasai kompetensi dasar yang diajarkan). Penulis mencoba untuk menjelaskan bahwa untuk kurikulum 2013 tidak ada KKM, yang ada adalah nilai Ketuntasan Belajar (KB). Nilai ketuntasan belajar dalam kurikulum 2013 adalah B- (Permendikbud No. 104 Tahun 2014). Peserta didik dinyatakan tuntas atau menguasai kompetensi dasar pengetahuan dan keterampilan jika sudah mencapai nilai B- atau melampauinya. Nampaknya teman sejawat penulis paham akan penjelasan penulis dan bergegas pamit meninggalkan penulis untuk kembali bekerja bersama anak-anak.

 

Usai menyelesaikan penataan taman kelas, penulis berpamitan kepada anak-anak untuk merampungkan pengerjaan rapor. Tak lupa penulis mengingatkan anak-anak untuk senantiasa menjaga dan merawat taman yang sudah mereka miliki sekarang. Penulis langsung menuju ruang tata usaha, dimana penulis meletakkan hasil printout rapor peserta didik kelasnya. Belum sampai tangan penulis meraih hasil printout tersebut, wakil kepala sekolah urusan kurikulum langsung menghampiri penulis untuk menyampaikan bahwa kepala sekolah ingin berbicara dengan penulis dan meminta penulis untuk segera menemui kepala sekolah di ruang kepala sekolah.

 

Sesampai penulis di dalam ruang kepala sekolah, kepala sekolah mempersilahkan penulis untuk duduk dan menunggu karena beliau masih melanjutkan pembicaraan dengan teman sejawat penulis yang menjabat sebagai guru Bimbingan dan Konseling (BK). Ada beberapa item keberatan yang beliau sampaikan kepada teman sejawat penulis tersebut. Sambil mendengarkan duduk permasalahan yang mereka perbincangkan, penulis meminta izin untuk menyela pembicaraan mereka terkait dengan setoran penilaian dan catatan BK yang telah disetorkan oleh teman sejawat penulis tersebut. Bukan bermaksud membela teman sejawat, penulis hanya menyampaikan fakta di lapangan bahwa memang tidak ada masalah untuk setoran penilaian dan catatan BK yang penulis sudah terima dari teman sejawat penulis tersebut. Namun fakta yang penulis sampaikan nampaknya tidak cukup memuaskan kepala sekolah. Sehingga beliau mengajukan beberapa ketentuan yang harus dilakukan oleh teman sejawat penulis dan pengajar BK lainnya.

 

Setelah menyelesaikan perbincangan dengan teman sejawat penulis, kepala sekolah masih meminta saya menunggu untuk memberikan beberapa barang kepada pesuruh sekolah yang kebetulan juga datang menghadap beliau. Kemudian beliau membuka pembicaraan dengan penulis dengan menanyakan, “Apakah Ibu tahu kenapa Ibu saya panggil?”. Tentu saja penulis menyatakan ketidaktahuan penulis perihal undangan beliau. Penulis hanya menyampaikan bahwa wakil kepala urusan kurikulum meminta penulis untuk menghadap kepala sekolah karena kepala sekolah ingin menyampaikan suatu hal yang penulis tidak ketahui. Tidak menunggu beberapa lama waktu, kepala sekolah menjelaskan maksud beliau mengundang penulis ke ruangan beliau. Beliau juga menyampaikan beberapa hal keberatan beliau terkait kebijakan penilaian yang penulis lakukan dan alasan keberatan yang beliau sampaikan. Inti pembicaraan kami adalah kepala sekolah keberatan dengan pemberian nilai (B-) kepada para siswa yang saya ajar dengan alasan:

 

1. nilai tersebut di bawah KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah. Lebih-lebih sekolah tempat penulis mengajar adalah Sekolah Berstandar Nasional (SSN) yang standar KKMnya adalah 75.

 

2. nilai tersebut tidak bisa membantu siswa untuk memenuhi syarat mengikuti tes Penerimaan Peserta Didik Baru ke Satuan Pendidikan Peyelenggara – Sistem Kredit Semester (SPP-SKS) jenjang SMA yang mensyaratkan calon peserta tes memiliki nilai rata-rata rapor untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan IPS masing-masing mempunyai nilai rata-rata minimal 75,00 (untuk nlai besar) dan 7,5 (untuk nilai kecil).

 

Beliau sempat meminta penulis untuk mengganti nilai yang telah penulis laporkan, namun penulis menolak tegas permintaan beliau dikarenaka penulis merasa sudah melakukan penilaian otentik dan hasilnya adalah nilai-nilai yang penulis laporkan tersebut. Dengan kebijakan beliau selaku kepala sekolah, beliau mengizinkan nilai-nilai tersebut untuk tidak usah diganti dengan catatan, beliau tidak menginginkan ada nilai (B-) lagi untuk semester selanjutnya pada penilaian yang penulis lakukan. Tidak hanya itu, beliau juga menceritakan kepada penulis tentang seorang pengajar di sekolah lain yang dimutasi dikarenakan Ibu pengajar tadi berlaku sama seperti penulis. Cerita beliau tersebut bagi penulis terdengar seperti suatu ancaman keras yakni jika penulis memberikan nilai (B-) pada semester selanjutnya, penulis akan dimutasi seperti halnya Ibu pengajar yang diceritakan oleh beliau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline