Salah satu pemikiran Ki Hajar Dewantara ialah Tripusat Pendidikan yang berarti memberdayakan sinergitas lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Istilah Tripusat Pendidikan menekankan keterlibatan keluarga dan masyarakat dalam menunjang keberhasilan pendidikan. Ini yang harus menjadi kesadaran kita bersama. Selama ini kita mungkin beranggapan bahwa sekolah satu-satunya lingkungan belajar dan pada saat yang sama menegasikan peran dan tanggung jawab sebagai keluarga dan masyarakat.
Sekolah Bukan Satu-satunya Lingkungan Pendidikan
Barangkali ini salah satu pesan kuat dalam istilah Tripusat Pendidikan bahwa sekolah bukan satu-satunya lingkungan pendidikan. Tapi ada agen yang lainnya yaitu keluarga dan masyarakat. Bagaimana keterlibatan keluarga dan masyarakat dalam menunjang keberhasilan pendidikan?
Keluarga merupakan agen sosialisasi pertama dalam tumbuh kembangnya anak. Penanaman nilai dan norma dalam keluarga menjadi bagian dari upaya membentuk karakter anak melalui nasehat atau pengalaman langsung. Selain keluarga, masyarakat juga pihak yang harus terlibat dalam keberhasilan pendidikan. Sejauh ini peran masyarakat tampak pada kegiatan "pendidikan non formal" yang teraktualisasi dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat.
Manifestasi Tripusat Pendidikan dalam Konteks Lokal Sosial Budaya
Pada bagian ini memusatkan penerapan Tripusat Pendidikan dalam konteks lokal sosial budaya di Manggarai - NTT. Di Manggarai ada satu adagium "Wuat Wa'i" yang secara harfiah artinya mengutus kaki. Dalam artian yang sederhana ungkapan ini berarti membekali seseorang untuk berjalan jauh atau merantau.
"Wuat Wa'i" sudah berlangsung lama dan menjadi kearifan lokal masyarakat Manggarai. Dalam bentuk konkretnya, "Wuat Wa'i" yaitu membekali seseorang baik dari aspek finansial maupun nasihat. Masyarakat bergotong royong memberikan dukungan finansial bagi anak dari keluarga yang melanjutkan studi.
Sedangkan pemberian nasihat dalam ungkapan bahasa lokal berisi harapan "Sesek sapu kole mbaru, sesek panggal kole tana" yang artinya keluarga dan masyarakat yang hadir mengharapkan keberhasilan dari seorang anak dalam melanjutkan studi.
Dalam ritual tersebut juga ada pemotongan ayam putih yang melambangkan kekosongan. Hal itu karena dalam tradisi Wuat Wa'i itu ada peribahasa "Porong lalong bakok du lakom, lalong rombeng du kolem" yang bermakna semoga pergi dengan tak membawa apa-apa, dan pulang harus membawa keberhasilan.