Dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia memuat tujuan NKRI salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa. Pertanyaan reflektif yakni, apakah tujuan tersebut sudah terpenuhi?
Untuk menjawab pertanyaan di atas tentu harus berdasarkan data yang teruji validitas dan reliabel. Dilansir dari Kompas.com (25/6) hasil survei sejumlah lembaga survei internasional masih menempatkan kualitas pendidikan Indonesia di urutan bawah. Laporan The Learning Curve, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), TIMS and PIRLS, World Education Forum PBB, World Literacy, menunjukkan kualitas kita termasuk rendah. Demikian juga penilaian oleh UNESCO lewat Programme for International Student Assessment (PISA) maupun UNDP melalui The Global Knowledge Index.
Apa sebenarnya masalah di dalam sistem pendidikan Indonesia? Sebelum mengidentifikasi apa saja permasalahanya, rasanya perlu untuk melakukan kilas balik sejarah perjalanan pendidikan Indonesia.
Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional
Jika ditanyakan siapa tokoh pendidikan di Indonesia, maka rata-rata akan menjawab Ki Hajar Dewantara. Namun tidak banyak yang melakukan penelusuran sejarah untuk mengetahui sejarah pergerakan, perlawanan, dan filosofi pendidikan yang digagasnya dalam pengembangan pendidikan Indonesia.
Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 dan wafat 26 April 1959. Ia merupakan bangsawan Jawa, aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia juga adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya orang-orang Belanda.
Pada tahun 1959 Ki Hajar Dewantara dianugerahi gelar Bapak Pendidikan Nasional karena jasa-jasa dalam memperjuangkan pendidikan Indonesia. Setiap tanggal 2 Mei yang merupakan tanggal lahirnya diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional Indonesia.
Ki Hajar Dewantara Diasingkan ke Belanda
Ki Hajar Dewantara melakukan kritik keras terhadap pemerintah Hindia Belanda yang berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis pada tahun 1913. Dalam sebuah artikel Ia menulis "Seandainya Aku Seorang Belanda" dimuat dalam surat kabar De Expres. Sontak membuat marah pejabat Belanda saat itu sehingga memberi sanksi yaitu diasingkan.
Selama masa pengasingan, Ki Hajar Dewantara di samping aktivitas studi Ia juga aktif dalam kegiatan organisasi perhimpunan pelajar Indonesia. Selama studinya, Ia terinspirasi oleh ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.