Lihat ke Halaman Asli

Kecelakaan Dahlan Iskan dan Nyanyian 600 Tahun

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kecelakaan yang menimpa Menteri BUMN Dahlan Iskan saat melakukan uji coba mobil listrik Tucuxi memang karena masalah rim blong. Dahlan kemudian dengan sengaja menabrakkan mobil ke tebing untuk menghentikan laju mobil yang tidak terkendali. Tapi ternyata bukan masalah rim blong saja yang menjadi diskusi/perdebatan. Bukan juga sebatas masalah teknis dan prosedur lainnya. Tapi melebar jauh ke masalah keyakinan beragama.

Sebelum Dahlan berangkat dari Jogja menuju Magetan Jawa Timur terlebih dahulu panitia mengadakan upacara ruetan. Yaitu acara adat Jawa yang bertujuan memohon perlindungan kepada Allah agar terhindar dari bencana. Banyak kalangan yang menyayangkan acara ini, termasuk dari kalangan pengagum Dahlan Iskan sendiri. Menurut mereka acara seperti ini bukan murni ajaran Islam. Tapi banyak juga yang tidak mempermasahkan hal tersebut. Menurut mereka yang penting kita meminta perlindungan kepada Allah, bukan kepada jin atau dewa. Masalah caranya yang menggunakan upacara adat itu tidak masalah. Maka hal ini memicu perdebatan yang sangat ramai mengenai hukum ruetan.Kenyataannya, setelah upacara ruetan tersebut mobil yang dikendarai Dahlan Iskan ditimpa musibah di tengah jalan.

Yang anti dengan ruetan berkata, ini adalah teguran dari Allah karena mengerjakan sesuatu di luar syariat. Bagi yang tidak mempermasalahkan ruetan berkata, musibah ini memang ketentuan Allah tidak ada hubungannya dengan ruetan. Masak ketentuan Allah di dekte oleh acara ruetan. Kalau hanya sebatas diskusi, perdebatan seperti ini mungkin baik, sebagai ajang menambah dan mengasahilmu agama masing-masing. Tapi kalau sudah sampai saling menuduh sirik, bidah, dan murtad ini yang tidak baik. Kalau sudah begini hendaknya kedua belah pihak menahan diri dan kembali melihat sejarah. Agar bencana di masa lalu yang ditimbulkan oleh perbedaan pendapat seperti ini tidak kembali lagi terjadi.

Sejak zaman awal penyebaran agama Islam di Nusantara oleh Walisongo hal seperti ini memang sudah menjadi pertentangan. Walisongo terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran Giri dan aliran Tuban. Aliran giri dipimpin oleh Sunan Giri dan didukung oleh Sunan Ampel, Sunan Drajat, dll.Aliran Giri berkeras kalau orang sudah masuk Islam mereka harus menjalankan ajarannya dengan sungguh-sungguh tanpa dicampur aduk dengan adat dan keyakinan sebelumnya. Karena murninya, aliran ini disebut aliran putih. Sebaliknya aliran Tuban sangat moderat membiarkan dulu para pengikutnya mengerjakan adat istiadat upacara kepercayaan lama. Yang penting mereka mau memeluk agama Islam. Agar tidak terlalu menyimpang mereka mewarnai upacara-upacara itu dengan ajaran Islam. Karena moderatnya, aliran ini memiliki pengikut yang jauh lebih banyak dari aliran Giri yang “radikal”. Aliran Tuban dipimpin oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Guning Jati. Selanjutnya aliran Tuban disebut Islam Abangan.

Dalam ajaran Hindu yang terdapat dalam kitab Brahmana (kitab yang mengatur tatacara prelaksanaan kurban, saji-sajian untuk menyembah dewa-dewa, dan upacara menghormati roh) ada istilah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu upaca menghormati roh-roh orang yang sudah mati. Disebutkan sebelum roh sampai ke “karman” menjelma kembali ke dunia menjadi dewa, manusia, binatang, batu, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain. Sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup. Selama 7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 roh tersebut datang lagi. Maka pada hari-hari tersebut diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian sucimemohon kepada dewa agar roh tersebut menjalani karma yang baik. Upacara diawali dengan membakar kemenyan, untuk melakukan kontak dengan para dewa dan roh yang dituju. Dilanjutkan dengan menghidangkan saji-sajian untuk dipersembahkan kepada para dewa kemudian dilanjutkan dengan mantera-mantera oleh pendeta agar permohonannya dikabulkan.

Pada masa wali dipimpin oleh Sunan Ampel pernah diadakan musyawarah untuk menghapus adat istiadat lama bagi orang yang masuk Islam. Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama yang sulit dibuang seperti upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman. Usulan itu menjadi perdebatan serius, karena para wali tau upacara kematian sangat menyimpang dari ajaran Islam. Sunan Ampel selaku ketua sidang kemudian bertanya: “Apakah tidak dikhawatirkan kemudian hari? Bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam?” Sunan Kalijaga membantahnya dengan mengatakan: “Mereka akan meninggalkan praktik kepercayaan sebelumnya setelah mereka sungguh-sungguh mengenal Islam”. Kemudian Sunan Kudus menyatakan dukungan terhadap pendapat Sunan Kalijaga, disusul oleh peserta musyawarah lainnya. Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui terpaksa mengalah karena kalah suara. Mulai saat itulah upacara Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu. Akibat lunaknya aliran Tuban bukan saja acara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme, dinamisme, serta upacara-upacara adat lainnya.

Maka tidak heran kalu murid Sunan Kalijaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk memadukan ajaran Hindu dan Islam. Lahirlah aliran kepercayaan yang berbau Islam, dengan pokok ajaran “Manunggaling Kaula gusti” artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya tidak usah dilakukan. Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar ke mana-mana. Mkaka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang.

Keadaan Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran yang sebenarnya. Para Ulama aliran Giri yang mencoba mempengaruhi para raja Islamdan masyarakat untuk menegakkan syariat yang sebenarnya mendapat kecaman dan ancaman. Karena mayoritas raja-raja menganut aliran Tuban. Sehingga pusat kerajaan di Demak dipindah ke Pajang untuk menghindari pengaruh ulama Giri. Pada masa Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi kraton dan masyarakat ditangkap dan dibunuh di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat kesewenang-wenangan terhadap ulama Giri maka Trunojoyo, santri Giri menyerang Amangkurat I.

Pada masa Amangkurat III, sebagai pengganti ayahnya dia membalas dendam terhadap Trunojoyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Amangkurat III bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton, semua keturunan giri dan santri dibantai habis. Dengan demikian lenyaplah ulama-ulama Giri. Ulama yang boleh hidup adalah ulama-ulama yang mau menyesuaikan diri dengan adat masyarakat. Maka bertambah suburlah adat istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam. Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulama-pun yang muncul merubahnya.

Hingga pada tahun 1912 muncul seorang ulama di Jogjakartabernama KH. Ahmad Dahlan yang berusaha merubah keadaan. Bukan saja berusaha mengikis adat istiadat Hindu, Budha, animisme, dan dinamisme yang melekat pada Islam tapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan agar ummat Islam bisa maju seperti ummat lainnya. Akan tetapi usahanya mendapat tentangan dari ulama-ulama yang tidak setuju upacara-upacara adat itu dikikis dari Islam. Sehingga Muhammadiyah tidak bisa berkembang secara optimal. Bahkan pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang bernama “Nahdlatul Ulama” atau singkat NU.

Pada acara muktamar di Makassar NU mengeluarkan keputusan, salah satunya adalah: “Setiap upacara keagamaan termasuk upacara kematian harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistematikanya sudah ditentukan”. Sejak saat itu upacara Pinda Pitre Yajna dengan berbagai istilah yang diwarnai Islam berubah nama menjadi tahlilan. Singkatnya KH. Ahmad Dahlan tidak berhasil mendominasi warna Islam di Indonesia, NU tetap mayoritas. Namun pertentangan kedua aliran ini terus berlanjut. Walau ditataran elit sudah bukan masalah karena mereka saling menghormati namun dikalangan akar rumput pertentangan ini tetap bisa kita lihat setiap saat. Sampai kecelakaan yang menimpa Dahlan Iskan setelah upacara ruetan. Perdebatan kembali menyeruak di dunia maya antara Islam putih dan abangan.

Setelah mengulas sejarah kedua aliran tersebut kita berharap kedua belah pihak hendaknya sadar bahwa pertentangan itu adalah lagu lama yang kita ulang kembali. Lagu yang berusia 600 tahun-an. Jangan hanya bermodal pemahaman agama lewat pengajian singkat dan internet kemudian berkoar-koar menuduh orang sesat, bid’ah dan syirik. Cukup sudah sejarah kelam pertentangan ini pada zaman kesultanan. Bayangkan kerusuhan yang menimpa Ahmadiyah saja begitu mengiris hati, terlepas dari sesat atau tidaknya aliran mereka. Puluhan nyawa melayang, ratusan rumah terbakar, dan ribuan orang mengungsi. Bagaimana kalau pertentangan Islam putih (Muhammadiyah, Salafi, dll) dan Islam abangan (NU dan berbagai aliran tarekat) meruncing dan berujung kerusuhan massal? Pertentangan yang kita picu dari dunia maya ini. Berapa ratus ribu nyawa sesama muslim kira-kira yang akan menjadi korban, berapa juta orang yang akan menderita kehilangan tempat tinggal. Seperti konflik berkepanjangan antara kaum Sunni dan Syiah di Timur Tengah sana. Sekali lagi kalau mau meluruskan praktik keagamaan masyarakat yang kita nilai kurang pas hendaklah dilakukan dengan cara bijak. Jangan langsung menuduh sesat, syirik, bidah apalagi murtad. Walau tujuan kita baik tapi caranya tidak baik hasilnya akan kontraproduktif.

Seandainya model pendekatan dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga tidak diterapkan di Nusantara belum tentu kita yang berteriak-teriak mencap orang sesat dan syirik ini menganut agama Islam. Bisa jadi saat ini kita masih menganut agama Hindu, Budha atau kepercayaan lainnya. Berkat kefleksibelan Islam Abangan-lah Islam di Nusantara dapat diterima secara luas. Tidak mendapat penolakan dari raja-raja dan masyarakat waktu itu. Sehingga kita mendapatkan Indonesia sebagai negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia saat ini.

Menyangkut ruetan yang dilakukan Dalang Ki Manteb Soedharsono terhadap mobil Tucuxi, jangan lihat ritual upacara ruwetannya karena itu memang tidak ada dalam ajaran Islam, tapi lihat esensi dari upacara tersebut. Ruetan itu adalah upacara yang diisi dengan do’a-do’a memohon keselamatan kepada Allah, bukan permohonan kepada dewa, jin, atau roh-roh.

Begitu juga harapan kita terhadap teman-teman yang menganut Islam abangan. Sebagai ummat yang hidup di zaman modern hendaknya kita membuka hati dan fikiran jangan keras kepala bertaklid mengikuti ajaran pendahulu. Begitu gampangnya akses untuk mempelajari Islam. Televisi, Internet, pengajian-pengajian, buku-buku adalah media yang sangat mudah kita dapatkan. Kita tidak bisa lagi dikukung dan dipaksa hanya mengenal satu aliran. Kita bisa mempelajari semuanya, kemudian kita pertimbangkan yang mana kira-kira praktik keagamaan yang sebenarnya menurut ajaran Islam dan mana yang kira-kira cuma praktik adat budaya. Boleh saja kita melaksanakan upacara adat budaya dengan maksud menghormati masyarakat sekitar, orang tua bahkan mertua. Tapi tetap kita berkeyakinan bahwa itu hanyalah upacara adat semata bukan acara keagamaan. Sehingga apa yang dikhawatirkan oleh Sunan Ampel 6 abad yang lalu tidak menjadi kenyataan.

****




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline