Lihat ke Halaman Asli

Dahlan Dipidana Semua Pejabat Masuk Penjara

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) beberapa hari yang lalu, Komisi VII menuding kebijakan Dahlan-lah penyebab inefisiensi PLN. Dahlan mengganti bahan bakas gas dengan BBM untuk menghidupkan PLTU. Dahlan memberikan klarifikasi atas tuduhan ini. Selain diklarifikasi Dahlan, Menteri ESDM dan BP Migas juga membela Dahlan. Pilihan BBM adalah terpaksa dan satu-satunya karena tidak ada pasokan gas. Kalau tidak maka di Jakarta akan terjadi pemadaman besar-besaran dan berbulan-bulan. Tidak pas menyalahkan PLN dalam hal ini, yang berwenang menentukan kuota gas untuk PLN adalan Kementerian ESDM. Tidak ada kuasa PLN sama sekali menentukan kuotanya sendiri. Kalau Kementerian ESDM dan BP Migas tidak memberi gas, PLN bisa apa? Itulah sebabnya kenapa rekomendasi BPK yang 18 itu hanya 1 untuk PLN. Karena BPK tau inefisiensi PLN bukan disebabkan oleh PLN sendiri.

Selanjutnya Komisi VII mempertanyakan ribuan jenset yang disewa Dahlan. Dahlan menjawab jenset-jenset itu untuk daerah luar jawa yang belum memiliki pembangkit listrik atau pembangkitnya sedang dikerjakan. Tidak bisa hanya menunggu pembangunan pembangkit-pembangkit listrik selesai, terlalu lama. Bisa 2 atau 3 tahun, bahkan kebanyakan lebih. Indonesia bukan Jawa saja, daerah lain juga menuntut hak yang sama. Daerah luar Jawa berhak juga sesegera mungkin mendapatkan listrik.

Untuk daerah luar Jawa Dahlan tidak hanya mengandalkan jenset, untuk pulau-pulau kecil dibuat program pembangunan 1000 PLTS (Tenaga surya). Percobaan sudah sukses dilakukan di pedalaman Sumba Barat Daya dan pulau-pulau lainnya seperti Bunaken. Sekarang program 1000 PLTS ini sudah siap dimasalkan. PLTA (Tenaga air) juga dibangun, malah Dahlan membuat PLTA terbesar di Papua yaitu disungai Baliem. PLTP (Panas bumi) tidak ketinggalan dikembangkan oleh Dahlan. PLTP Ulumbu di kabupaten Manggarai-NTT dapat diselesaikan Dahlan dalam waktu satu tahun. Padahal proyek itu mangkarak sejak tahun 1994.

Mengenai keterlibatan istri dan anak Dahlan dalam pengadaan jenset, Dahlan menantang Komisi VII untuk mengundang istrinya ikut RDP. Biar Komisi VII bertanya sendiri, karena istri Dahlan adalah murni 100% ibu rumah tangga bukan pembisnis. Isna Fitriana anak bungsu Dahlan hanya berbisnis baju yang mungkin ada gambar jensetnya kata Dahlan melucu. Anak yang satunya lagi Azrul Ananda bekerja di Jawa Post, menjadi Dirut di sana. Jangankan bekerja sama dengan PLN untuk pengadaan jenset, menyentuh lantai kantor PLN saja Azrul tidak sudi. Sebelumnya Azrul tidak setuju Dahlan menjadi Dirut PLN. Karena Dahlan nekat bekerja tanpa persetujuannya maka dia bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di kantor-kantor PLN selama bapaknya masih menjadi Dirut. Sumpah itu dapat dipenuhi oleh Azrul. Yang lebih penting lagi bukan Dahlan yang mengurus pengadaan jenset itu langsung tapi direktur PLN lainnya. Tuduhan ini benar-benar tidak mendasar. Mendapat jawaban dan tantangan Dahlan seperti ini Komisi VII mundur teratur tidak mempertajam pertanyaan seputar jenset itu lagi.

Gagal dengan dua amunisi di atas Komisi VII menyerang dengan keterlambatan proyek pengadaan listrik 10 ribu megawatt tahap pertama. Nah kalu masalah ini saya rasa masuk akal jika Komisi VII menyalahkan Dahlan. Karena sesuai dengan rekomendasi BPK untuk PLN. Terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi PLN dalam menuntaskan proyek tersebut.

Tapi amunisi ketiga ini jadi tidak masuk akal tatkala yang disalahkan hanya Dahlan semata. Dirut PLN sebelum Dahlan dan sesudah Dahlan juga berada dalam tenggang waktu proyek tersebut. Kenapa tidak dipanggil juga, kenapa hanya fokus ke Dahlan seorang?

Amunisi ini juga menjadi tidak masuk akal kalau Dahlan mau dipidanakan seperti yang digembar-gemborkan Effendy Simbolon. Kalau sekedar menyalahkan untuk jadi bahan koreksi mungkin ya dan memang seharusnya begitu tugas DPR. Kalau Dahlan mau dipidanakan gara-gara keterlambatan proyek, itu jelas mengada-ada. Tidak ada satupun pejabat di negera ini yang tidak akan masuk penjara termasuk juga semua anggota DPR. Instansi mana sih di negara ini yang tidak pernah terlambat mengerjakan proyek?

Salah satu contoh misalnya proyek konversi minyak tanah ke gas. Berapa inefisiensi yang disebabkan oleh keterlambatan proyek ini? Sampai sekarang banyak daerah yang belum terkonversi sesuai jadwal. Di NTB misalnya pulau Sumbawa. Subsidi minyak tanah terus mengalir ke daerah ini entah berapa miliar perbulan. Seharusnya subsidi itu tidak perlu ada kalau proyek konversi minyak tanah dapat diselesaikan Kementerian ESDM dan Pertamina sesuai jadwal.

Atau proyek suasembada beras, daging, garam, kedelai dan lain sebagainya. Proyek-proyek ini tidak pernah sesuai target. Berapa inefisiensi yang ditimbulkannya? Devisa negara tergerus setiap tahun untuk mengimpor komuditas tersebut.

DPR juga saya rasa dapat diperkarakan karena keterlambatan menyelesaikan Undang-undang. Rata-rata DPR hanya mampu menyelesaikan 15 persen pertahun. Tahun 2011 target Undang-undang yang dirampungkan 68 tapi selesai hanya 16. Tahun 2011 target 94 tapi selesai hanya 24. Tahun 2012 sampai bulan September hanya 11 yang diselesaikan dari 64 target. Ini jelas-jelas inefisiensi. Bukankah tidak sedikit anggaran untuk DPR? Tahun 2012 anggaran untuk DPR 2,94 triliun. Karena DPR hanya menyelesaikan 15 persen pekerjaannya berarti telah terjadi inefisiensi pada tahun 2012 sebesar 85 persen dari dana 2,94 triliun itu.

Parahnya lagi, selain produktifitas rendah kualitas Undang-undang yang dihasilkan DPR juga rendah. Buktinya banyak gugatan masyarakat yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Sudah dibiayai mahal-mahal digugurkan MK lagi. Siapa yang menyanggah kalau ini bukan termasuk inefisiensi? Alangkah efisiennya negara ini jika DPR dibubarkan. Selanjutnya yang berhak membuat Undang-undang adalah pemerintah, tapi rakyat bisa menggugatnya lewat MK.

Dari analisa data dan fakta di atas saya befikir silahkan DPR memenjarakan Dahlan. Tapi sebagaimana pernyataan Dahlan yang siap dan ikhlas masuk penjara kalau kebijakannya disalahkan, DPR juga harus menyatakan siap dan ikhlas ikut masuk di sana kalau kinerjanya dipermasalahkan. Lebih per lagi kalau semua pejabat yang terlambat menyelesaikan proyek dipenjarakan juga.

Selanjutnya harapan saya untuk Komisi VII hendaknya segera meluruskan persepsi masyarakat yang terlanjur dibengkokkan. Secara hukum inevisiensi tidak sama artinya dengan kerugian negara. Negara tidak pernah dirugikan oleh PLN, bukankah memang kewajiban negara menyediakan infrastruktur? Dan listrik itu termasuk kategori infrastruktur sebagaimana jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dan lain-lain. Berapapun uang yang dihabiskan negara untuk infrastruktur asal tidak ada penyimpangan tidak bisa dikatakan rugi? Walau uang pembangunan itu tidak akan kembali untuk selama-lamanya.

Harapan yang kedua adalah, DPR jangan hanya melihat inefisiensi PLN. Tapi lihat juga efisiensi-nya. Bukankah berkat kinerja Dahlan, sekarang pembangkit listrik di pulau Jawa sudah 100% bebas BBM? Pemakaian BBM untuk pembangkit listrik se-Indonesia juga sudah berhasil dia tekan hingga tinggal 5%. Sisanya 51% menggunakan batu bara, 24% gas, 9% air, dan lain-lain. Disaat darurat bolehlah PLN melakukan inefisiensi 37 triliun tapi tapi disaat bersamaan PLN telah berhasil melakukan efisiensi ratusan triliun. Tidakkah DPR memiliki akal sehat dan nurani untuk menghargai keberhasilan itu?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline