MENJADI IBADURRAHMAN
Masjid Agung Brebes, Rabu, 23 Desember 2020. Ngaji Ihya karo Kang Kaji.
Pada ngaji Rabu sore kali ini, beliau menyampaikan tentang bagaimana menjadi Ibadurrahman, manusia yang yang berjalan di muka bumi dengan tenang dan tawadhu.
Bentuk perilaku tawadhu dapat dilakukan dengan cara; berjalan dimuka bumi sesuai dengan gaya dan karakter aslinya, tidak diisi kepura-puraan dan tidak pula kesombongan, yang ada berjalan dalam kondisi tenang dan penuh kewibawaan.
Sebaliknya, bila berjalan dengan penuh kesombongan, tentu perilaku ini sangat dibenci oleh Allah SWT. Begitu pula dalam berdakwah selayaknya tidaklah saling mencaci maki, yang selanjutnya akan berdampak pada permusuhan, bukan persaudaraan. Sehingga dakwah yang dicita-citakan sebagai pembawa rohmatan lil 'alamin bisa tercapai.
Nilai-nilai ketawadhuan yang dilakukan seseorang, tentu akan mendapatkan keistimewaan tersendiri di hadapan Allah SWT, dengan ketinggian derajat yang akan didapatkannya.
Orang yang tawadhu, dengan kekayaan yang didapat di dunia (menjadi orang kaya) menjadikan dirinya, tetap berada pada posisi sebagai "hamba." Yaitu manusia yang serba kekurangan dan sangat membutuhkan Tuhan. Bukan kekayaan yang diperoleh untuk menyombongkan diri. Yang akan berdampak pada jauh dari aktivitas beribadah kepada Allah SWT. Menjadi kaya, semakin menjadi dekat dengan Allah SWT.
Harta dan kekayaan bagi orang yang tawadhu, bukan untuk memenuhi kebutuhan kesenangan, tetapi mengasah nilai-nilai ketawadhuan yang semakin dipertajam, untuk menjadi manusia yang bersyukur, atas segala nikmat pemberian Allah SWT. Walaupun menjadi orang kaya, tetap saja tidak sombong dan selalu mencari lebutuhan hajat hidupnya setiap hari. Hal ini dimaksud bahwa manusia setiap hari selalu butuh akan pemberian Allah SWT.
Inilah salah satu kehebatan orang kaya yang menjadi hamba Allah. Ia tetap memposisikan dirinya menjadi manusia yang masih butuh dengan Allah. Maka ia terus menjadi manusia yang merasa fakir, manusia yang mengalami kekurangan dan terus mengabdi kepada Allah SWT.
Dengan merasa dirinya butuh dengan Allah maka ia dapat dikatakan fakir (saya orang miskin). Sehingga akan timbul perasaan tidak ada orang yang merasa kaya, tetapi adanya orang yang merasa miskin dan terus berusaha mencari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk beribadah.
Kefakiran dalam hal ini, merupakan kefakiran yang dilihat dari sebab dirinya menjadi hamba Allah dan kefakiran karena kondisi makluk, yang membutuhkan Allah. Makhluk yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah. Dan Allah SWT lah menjadi tempat memohon.