Lihat ke Halaman Asli

Buaian Gendongan Tradisional

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="alignnone" width="470" caption="Adalah seorang bunda dengan bayi dalam "kuasanya". "][/caption] Pengantar Saya lupa kapan terakhir digendong oleh ibu. Tetapi yang paling saya ingat, dulu ketika kecil, saat saya sakit, saya kerap digendong oleh ibu atau simbah. Sepertinya itu untuk memudahkan mereka memantau keadaan saya, sebab saat sakit (terutama jika demam) saya kerap mengigau, sehingga dengan digendong itulah ibu atau simbah menenangkan saya. Ketika mendapati sebuah buku katalog pameran berjudul Gendongan Tradisional Nusantara yang disusun oleh Tim Pameran Himpunan Wastaprema 2010, ingatan tentang gendongan itu kemudian muncul kembali. Karena gagal mengingat detail bagaimana dan kapan terakhir saya digendong, saya lalu mencoba menangkap memori gendongan yang pernah saya saksikan dalam keluarga saya, antara lain keponakan dan anak saya sendiri, Fathiya. Ya, tak salah lagi, para keponakan saya umumnya digendong dengan selendang, begitu juga anak saya. Selendanglah yang membuai perkembangan mereka, dari bayi hingga kanak; menjadi alat untuk “mengekang” mereka saat disuapi, menenangkan mereka saat menangis, juga menina-bobokan mereka saat akan tidur. Begitu dahsyatnya benda yang satu ini! Ya, kebudayaan dapat kita pahami sebagai upaya manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan dan kehidupannya. Itulah mengapa kebudayaan kerap muncul sebagai cara untuk merespon kebutuhan manusia, di antaranya dalam hal membawa barang atau bayi. Suku-suku bangsa di Nusantara amat kaya dengan warisan budaya yang berkaitan dengan gendongan tradisional ini. Sebagai sebuah alat, gendongan mempunyai fungsi untuk menggendong, yakni membawa barang atau bayi dengan cara mendukungnya di punggung atau di pinggul. Ada berbagai macam gendongan yang dapat kita temukan, beberapa ada yang terbuat dari kain sebagaimana umum diketahui sebagai selendang, ada pula gendongan yang terbuat dari  serat, rotan, maupun kayu. Kain, Serat, Rotan, dan Kayu Masyarakat di Jawa, Sumatera, Bali, serta Nusa Tenggara Timur telah lama mengenal kain sebagai bahan untuk pakaian. Kain persegi panjang misalnya, sudah digunakan oleh masyarakat Jawa jauh sebelum pengaruh Islam masuk ke Nusantara. Pemakaian kain persegi panjang ini konon dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu, di mana kain yang tidak dipotong dan tidak dijahit merupakan simbol kesucian (Taylor, dalam Nordholt (ed.), 2005:131). Makna sakral kain persegi panjang inilah yang diwariskan hingga kini dan masih dipakai oleh masyarakat Jawa dalam berbagai perhelatan budaya dengan cara dililitkan pada tubuh, terutama pada bagian bawah. Dalam perkembangannya, kain dengan bentuk persegi panjang, baik kain tenun atau pun batik, tak hanya digunakan sebagai pakaian, tetapi juga untuk membawa barang atau bayi dengan menyelempangkan kain tersebut melalui punggung, lalu mengikatnya pada bahu. Bentuk kain yang selampit memanjang ini memudahkan penggunanya untuk mengulur atau menarik kain apabila diperlukan. Di Jawa, Madura, dan beberapa daerah lainnya, kain gendongan tradisional paling populer hingga sekarang adalah selendang batik pesisiran dengan lebar antara 60 – 90  sentimeter, dan panjang antara 200 – 300 sentimeter, berwarna cerah dengan motif burung, naga, bunga, dan lain-lain yang memperlihatkan pengaruh Cina. Dalam kepercayaan Cina, motif-motif yang terdapat pada kain gendongan tersebut melambangkan berbagai harapan. Misalnya motif bunga melambangkan keindahan; burung melambangkan kebebasan dan kebahagiaan; burung phoenix melambangkan kebajikan, keanggunan dan kekuasaan; ikan melambangkan generasi penerus; kupu-kupu melambangkan cinta dan kasih sayang; dan simbol naga melambangkan keberuntungan. Penggunaan simbol-simbol ini diharapkan dapat menularkan berkah kepada si bayi, serta terlindung dari hal-hal negatif selama pertumbuhannya. Di daerah Tapanuli, gendongan bayi dinamakan “parompa”. Parompa merupakan kain persegi panjang dengan hiasan pada bagian pakan (sisi lebar) kain. Parompa diberikan oleh orang tua pihak ibu kepada sepasang suami istri agar kelak anak yang akan lahir dapat tumbuh dengan sehat. Selain parompa, dikenal juga kain ulos ragi hotang yang melambangkan hubungan antarkeluarga yang kuat, sekuat tali rotan (Tim Pameran Himpunan Wastaprema, 2010). Pada masyarakat Nusa Tenggara Timur, kain yang digunakan untuk menggendong adalah kain sarung, yakni kain berbentuk silinder yang disatukan dengan cara ditenun atau dijahit. Bayi yang digendong melekat pada badan ibu, kemudian sarung mengelilingi anak dan ibu dengan sebagian sarung disandang di bahu ibu. Selain kain, dikenal pula gendongan yang terbuat dari serat, rotan, atau kayu. Masyarakat Dayak di Kalimantan menggunakan gendongan yang disebut “beringaban”, “ba’” atau “ambinan”. Beringaban terbuat dari rajutan rotan atau dari kayu dengan bentuk setengah lingkaran, dilengkapi dengan tali pada kedua sisinya seperti tas ransel. Alat ini digunakan untuk membawa barang atau peralatan, dan sering kali dipakai sebagai gendongan bayi. Beringaban dihias dengan motif-motif tertentu, seperti motif manusia, hewan, serta motif dengan bentuk-bentuk abstrak. Motif manusia melambangkan nenek moyang suku Dayak, sementara motif hewan tertentu, seperti aso, yakni gabungan antara anjing dan naga menunjukkan status pemakainya (Tim Pameran Himpunan Wastaprema, 2010). Di Papua, masyarakat setempat memiliki alat gendongan yang disebut noken dengan bahan dasar serat. Serat sebagai bahan dasar noken diambil dari akar bunga anggrek, akar pohon pandanus, atau serat pohon melinjo. Noken berbentuk kantung rajut dengan tali satu sisi yang diletakkan di dahi pemakainya. Sejak lahir hingga mati, noken memiliki arti penting bagi masyarakat Papua. Saat bayi, noken digunakan sebagai alat untuk menggendong, ketika menginjak dewasa noken dibuat oleh gadis untuk calon pasangannya, begitu pula ketika seseorang meninggal, tulang belulangnya di simpan di dalam noken (Tim Pameran Himpunan Wastaprema, 2010). Perlambang Kedekatan dan Kehangatan Gendongan memberikan kesan mendalam mengenai kedekatan orang tua dengan anaknya. Ia mewakili kasih sayang utuh seorang ibu kepada anaknya. Kesan ini misalnya dapat kita temukan pada deskripsi Hildred Geertz dalam buku Keluarga Jawa. Dalam deskripsinya mengenai masyarakat Jawa di Mojokuto, Geertz menggambarkan bahwa pada beberapa bulan pertama setelah kelahirannya, anak-anak bayi akan selalu melengket pada pinggul ibunya. Bayi ini digendong dengan menggunakan sehelai kain yang lampai-sempit-panjang yang biasa disebut selendang. Selendang itu digelung (diikat) pada pundak, kemudian turun melewati pinggul, tempat di mana bayi nyaman dalam buaian ibu. Posisi ini pun amat nyaman untuk mendudukkan bayi, begitu pula apabila si bayi memerlukan untuk menetek pada ibunya. Selain digendong dengan posisi di samping atau depan, terkadang bayi juga digendong di belakang apabila sedang dalam perjalanan jauh. Posisi menggendong anak di depan atau di samping ini membuat ibu dapat selalu mengamati si bayi dengan mudah, memberikan makanan kecil, atau membuainya jika sedang resah. Begitu pula, apabila si bayi tidur, selendang itu akan menyangga si bayi dengan sempurna (Geertz, 1983: 99). Dalam penggambaran Geertz nampak sekali bahwa aktivitas menggendong merupakan perlambang kasih sayang ibu kepada anak sepenuhnya, karena itulah “kebanyakan anak-anak di bawah 3 tahun tampak sangat senang digendong dengan selendang ketimbang harus ditinggalkan berkeliaran sendiri ke sana ke mari dan sering kali mereka minta kepada ibunya untuk itu” (Geertz, 1983: 100). Bahkan jika seorang anak yang telah berumur enam hingga delapan tahun sakit, sang ibu akan merasa lebih tenang apabila bisa menggendongnya daripada meninggalkannya tergolek di balai-balai. Saya Sasaki Shiraishi dalam Pahlawan-pahlawan Belia secara khusus menghubungkan aktivitas menggendong anak dengan makna yang dalam mengenai kehangatan. “Hangat” merupakan kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan suasana kebahagiaan sebuah keluarga. Kata itu dimaksudkan sebagai sensasi psikologis dan emosional dari rasa nyaman, tenang, terlindungi, intim, dan hubungan yang erat dalam kehidupan keluarga. Menurut Shiraishi, para ibu menggendong bayi mereka dengan selendang karena dulu mereka juga digendong dengan selendang. Hal ini memberikan sensasi kehangatan yang dengan mudah bisa dihidupkan kembali lewat perasaan dan kenangan mereka (Shiraishi, 2001:82). Dalam amatan dua antropolog ini, gendongan seolah mewakili semesta keintiman antara orang tua dan anaknya. Seorang anak dalam tradisi suku-suku bangsa di Indonesia, setidaknya terlihat dari kebiasaan menggendong ini, selalu diposisikan sebagai individu yang rentan, sebab itu harus selalu dilindungi dalam buaian orang tuanya. Anak, dalam pemahaman seperti ini, di samping menjadi sumber anugerah dan kebahagiaan keluarga, kerap kali juga menerbitkan rasa khawatir. Karena itulah, upaya perlindungan selain tergambar melalui aktivitas fisik menggendong, juga nampak pada simbol-simbol yang diterakan pada alat gendongan seperti telah disebutkan. Simbol-simbol itu, selain menunjukkan status pemakainya, juga menggambarkan harapan dan permohonan agar si anak selalu dalam keadaan sehat wal afiat. Merenungkan kembali pengalaman menggendong dan digendong ini, membuat saya menuju pada sebuah kesimpulan bahwa aktivitas ini menunjukkan kontrol orang tua terhadap anak. Ya, gendongan adalah cerminan sebentuk kasih sayang, tetapi sekaligus juga “kuasa” orang tua terhadap anaknya. Sealur dengan pemikiran ini, Shiraishi juga melihat bahwa lingkungan rumah, dengan pekarangan sebagai batas terluarnya, adalah perluasan dari kain gendongan itu, di mana kasih sayang dan (tentu saja) kontrol terhadap perkembangan anak menemukan ruang untuk mengejawantah (Shiraishi, 2001:85). Dan, begitulah cara Shiraishi memahami Indonesia pada masa Orde Baru sebagai sebuah “keluarga besar”. Ia mencoba membongkar konstelasi kuasa dalam negara orde baru dengan cara menelisiknya melalui keluarga, sistem organisasi sosial terkecil tempat di mana kasih sayang dan kuasa berjalan seperti lazimnya, seperti lumrahnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline