Lihat ke Halaman Asli

Regulasi Zakat di Indonesia, Kebijakan Setengah Hati

Diperbarui: 19 Januari 2016   23:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Perkembangan zakat di Indonesia memang mengalami perkembangan yang dinamis dalam rentang waktu yang sangat panjang, seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia melalui Indonesia bagian barat, Tanah Rencong. Dalam kurun waktu yang panjang ini, terjadi tarik menarik pengurusannya antara publik dan institusi Negara. Tarik menarik ini dapat menghambat kinerja zakat dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap legalitas zakat dalam penarikan dan distribusinya. Zakat yang sebelumnya berada di ranah amal-sosial, setelah diambil alih oleh pemerintah kini telah berkembang ke ranah pembangunan-ekonomi, terdengar lebih merata dengan menyalurkan manfaat zakat ke ranah yang lebih umum. Tapi apakah kepengurusan zakat oleh pemerintah ini memberikan angin segar untuk masa depan zakat di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita flashback ke beberapa abad yang lalu untuk membaca lagi sejarah zakat di Indonesia.

1. Praktik Awal Hingga Masa Kolonial

Praktik zakat di masa awal masuknya Islam di sebelah barat Indonesia pada abad ke-11 masih berupa hipotesis. Hal ini dikarenakan tidak ada bukti cukup yang menyatakan bahwa zakat masa itu dikumpulkan secara regular dan formal oleh penguasa Muslim sebagai suatu kewajiban seperti pajak bagi warga Negara. Christian Snouck Hurgronje[1] (1857-1936) berargumen bahwa sifat sukarela dari pembayaran zakat ini disebabkan oleh proses islamisasi Indonesia yang terjadi secara damai, bukan karena penaklukan militer.

Dengan cara damai seperti ini, maka zakat di Indonesia tidak pernah dipandang sebagai bentuk pajak keagamaan atau upeti politik yang sifatnya wajib. Maka kemudian pembayaran zakat di Indonesia lebih banyak diserahkan kepada Muslim secara individual dengan basis kesukarelaan. Dua institusi sosial-keagamaan lokal memegang peran penting di sini, yaitu masjid dan pesantren.[2]

Proses masuknya Islam di beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Wilayah Jawa yang sebelumnya kental dengan budaya Budha-Hindu, ketika Islam mulai masuk maka terjadilah akulturasi antara Islam dan budaya Jawa. Sedangkan Aceh, purifikasi telah terjadi di awal masuknya Islam, bahkan dilakukan oleh institusi resmi Negara saat itu, Syaikhul Islam seperti yang dilakukan Nuruddin Al-Raniri (w. 1658). Pemimpin Negara yang religius tersebut menegekkan ajaran-ajaran Islam dalam pemerintahannya.

Negara saat itu juga telah memiliki institusi dan sistem keuangan yang permanen, bahkan di masa keemasan Aceh dalam kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) memiliki kontrol politik yang mencakup wilayah Sumatera dan semenanjung Malaysia, Negara telah memiliki baitul mal dan sistem ‘usyr dan perpajakan. Dengan karakteristik religius dari kekuasaan negara dapat diperkirakan bahwa negara telah mengumpulkan zakat secara wajib di Aceh, setidaknya walaupun kewajiban zakat tersebut bersifat kewajiban religius individual, akan tetapi negara telah memfasilitasinya.[3]

Amelia Fauzia menuliskan dalam penelitian sejarah Negara Indonesia, Faith and the State, hipotesis kesukarelaan dalam praktik zakat secara umum di Indonesia mendapatkan penguatan dengan tidak ditemukannya regulasi negara dalam kitab hukum kerajaan di wilayah Sumatera seperti Undang-Undang Melaka, maupun hukum kerajaan Melayu lainnya seperti Undang-Undang Kerajaan Pahang, Undang-Undang Kedah, dan 99 Undang-Undang Perak. Begitu pun regulasi tentang zakat tidak ditemukan dalam kitab hukum kerajaan di Jawa, seperti Undang-Undang Mataram maupun kitab hukum kerajaan Mataram lainnya.

Seiring melemahnya kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam, praktik zakat mal dan zakat fitrah di Indonesia berubah sepenuhnya menjadi urusan pribadi, sedangkan ‘usyr dipandang tidak lagi bersifat religius. Ulama mendapatkan manfaat dari zakat mal dan zakat fitri yang dibayarkan secara sukarela, sedangkan negara mendapatkan manfaat dari pajak dan ‘usyr. Pada abad ke-19,  pajak yang telah diterapkan oleh kerajaan-kerajaan nusantara telah diakuisisi oleh kolonial Belanda.[4]

Di era pejajahan kolonial Belanda, sejak 1858 kebijakan pemerintah Belanda terhadap praktik zakat secara umum bersifat netral dan berusaha tidak campur tangan. Pada tahun 1866 pemerintah Belanda membuat regulasi yang melarang seluruh pejabat untuk ikut campur dalam pengumpulan dan pendistribusian dana zakat. Zakat sepenuhnya dilepaskan kepada tiap individu, dengan kebijakan yang non intervensi ini zakat dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan kegiatan sosial lainnya.

Akan tetapi tindakan ini ternyata adalah strategi terhadap regulasi pajak yang dibebankan kepada rakyat Indonesia, dengan kata lain kesukarelaan menunaikan zakat akan dikalahkan dengan beban pajak besar yang diwajibkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pasca regulasi tentang zakat 1866, pengumpulan zakat di Jawa terbagi dua; pertama, pengumpulan aktif yang dilakukan oleh penghulu (hakim agama) yang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah setempat, pengumpulan zakat oleh pihak ini bersifat wajib. Kedua, pengumpulan pasif oleh pemuka agama dan bersifat sukarela.[5]

Cikal bakal pengelolaan zakat modern di Indonesia dapat ditelusuri dari pengelolaan zakat oleh Muhammadiyah, organisasi masyarakat Islam Indonesia terbesar kedua yang didirikan pada 1912. Berbekal tiga landasan utama, yaitu teologi al-Mâ’ûn, modernismedan etos puritan, Muhammadiyah sejak 1918 telah mampu mentransformasikan zakat dan praktik filantropi Islam lainnya untuk keadilan dan kesejahteraan sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline