Lihat ke Halaman Asli

Lukman Hakim

Berbagi itu indah

Ketidaktahuan dan Rasisme, Akar Intoleransi dalam Agama

Diperbarui: 30 Januari 2021   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: kronologi.id

Fenomena intoleran kerap kali terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pendapat terutama mengenai isu keagamaan. Medsos merupakan faktor utama dalam hal ini, di mana mayoritas masyarakat menerima kabar, ceramah dan isu tentang keagamaan dengan langsung percaya begitu saja tanpa mengetahi sumber atau referensi yang asli.

Parahnya lagi, ketika mereka hanya memilih bahan bacaan dari suatu golongan yang mereka suka sebagai pedoman dan tidak mau menerima sumber atau referensi lainnya. Ironisnya, tindakan intoleran ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat saja melainkan juga terjadi diantara orang-orang terkenal dan besar dari golongan cendikiawan dan tokoh masyarakat.

Sebagaimana yang kita ketahui, akhir-akhir ini viral tentang kasus tindakan rasis terhadap mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai. Pelaku yang diduga dalam kasus ini antara lain Permadi Arya yang dikenal dengan Abu Janda (pegiat media sosial), guru besar USU (Universitas Sumatera Utara) Yusuf Leonard Henuk, serta Ruhur Sitompul (politikus PDI Perjuangan sekaligus mantan politikus Partai Demokrat).

Kedua permasalahan tersebut rawan menimbulkan tindakan intoleran. Adapaun yang sering kita temui di masyarakat, misalnya seseorang yang hanya mengetahui satu pendapat tatkala ada isu yang bernuansa agama, maka ia tetap dalam pendiriannya, menunjukkan reaksi emosional, cepat marah dan bahkan mencaci-maki tatkala terdapat pendapat yang lain.

Ia merasa bahwa dirinya paling benar dari pada yang lain, sehingga menganggap lainnya sesat. Itupun, ia berdalil dengan menggunakan katanya, "kata si Fulan", orang yang diikutinya. Sementara dia sendiri tidak mengetahui atau bahkan tidak memahami maksud dari dalil yang ia dapat.

Padahal, ulama' sendiri memberikan banyak solusi misal dalam hal shalat jika ia tidak mampu berdiri maka boleh duduk, atau problem yang bisa ditimbang dengan kaidah fikih yang menyatakan "al-Darar Yuzal" (kemudaratan itu harus dihilangkan), atau kaidah "Dar'u al-Mafasid Muqaddam ala Jalb al-Masalih" (Mencegah bahaya lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan) dan tawaran-tawaran lain yang dapat dijadikan solusi, tanpa membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Begitu juga dengan kasus rasisme yang membombandir pada akhir-akhir ini. Misal kasus Abu Janda, ternyata dalam kesempatan lain Abu Janda juga terlibat twit war dengan Tengku Dzulkarnain (Wakil Sekretaris Jendral Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia) yang isinya sebagai berikut:

"Dulu minoritas arogan terhadap mayoritas di Afrika Selatan selama ratusan tahun, Apertheid. Akhirnya tumbang juga. Di mana-mana negara normal tidak boleh mayoritas arogan terhadap minoritas. Apalagi jika yang arogan minoritas. Ngeri melihat betapa kini Ulama dan Islam dihina di NKRI". Cuit Tengku Dzulkarnain.

Sementara Abu Janda menanggapi cuitan tersebut dengan menyatakan bahwa Islam sendiri lah yang arogan sebab mengharamkan kearifan lokal di Indonesia.

"Yang arogan di Indonesia itu adalah Islam sebagai agama pendatang dari Arab kepada budaya asli kearifan lokal. Haram-haramkan ritual sedekah laut, sampe kebaya diharamkan dengan alasan aurat" cuit Abu Janda membalas @ustadztengkuzul.

Setelah itu, Abu Janda memberikan argumen tentang cuitan sebelumnya yang mengatakan Islam Arogan pada kearifan lokal. Berikut isi cuitannya:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline