Pangkalpinang --- Dalam novel termasyhur bertitel 1984 karya George Orwell, pertama kali membacanya seperti memasuki mesin waktu ke masa yang (pengalaman batin penulis) ada di depan. Bukan sebaliknya seperti yang tertera di judul novel yang pertama kali terbit pada 8 Juni 1949. Ada suasana dingin mencekam disertai lalu lalang sosok-sosok asing yang sejatinya seperti mengawasi tiap penduduk Oceania.
Menurut hemat penulis, ada tiga hal pokok yang diketengahkan oleh Orwell. Pertama soal sistem bernegara yang bercorak totalitarianisme, soal mass surveillance atau penguntitan kehidupan warga oleh negara, dan terakhir adalah soal indoktrinasi pikiran penduduk Oceania.
Dari ketiga pokok bahasan di novel setebal 598 halaman bentuk pdf ini, Orwell mampu menerjemahkan bagaimana suasana batin seorang Winston Smith ketika menghadapi state pressure melalui perangkat organik miliknya : pantauan kamera cctv di tiap sudut di manapun belahan kota, anggota teliksandi yang seliweran hilir mudik ala film-film spionase era James Bond -diperankan Sean Connery- tahun 1960-an. Memakai topi semi koboy yang bagian depannya menutupi wajah mereka, serta sebuah sistem bernegara yang menihilkan tiap bentuk oposan. Alias segala sesuatunya diseragamkan.
Jika kita sama-sama sepakat, ada bentuk yang sangat mirip apa yang digambarkan oleh Orwell pada tahun 1949 dengan beberapa pemerintahan di era milenial sekarang ini. Justru disitulah paradoks- nya. 1984 akhirnya berubah seperti acuan tak resmi para penganut mazhab Machiavellisme. Bukankah ada nada yang seirama ketika sama-sama bertemu pada kalimat 'menghalalkan segala cara'. Gampangnya nih pembaca, lihatlah bagaimana rezim komunis China merontokkan identitas orang-orang Uighur di Turkistan.
Sejatinya, tidak boleh lagi terjadi perkosaan hak asasi manusia atas nama apapun. Apalagi jika dikaitkan dengan masalah super sensitif, masalah keyakinan atau agama. Apa yang sebenarnya hendak dicapai oleh Xi Jinping dan komplotannya di Uighur sana? Sumber daya alam pas-pasan, posisi wilayah juga tidak amat sangat strategis, jumlah penduduknya dibandingkan dengan China tentu sangat jomplang. Jadi atas dasar apa mereka merangsek masuk menjajah kaum muslimin di Uighur sana?
Sebagai rasa curiga, sah-sah saja dikemukakan disini. Toh namanya False Flag Operation ala PKC bersifat dangkal, murahan dan kejam. Sepertinya, rezim bengis Jinping ini hendak memiliki laboratorium hidup tempat percobaan mereka dengan teori-teori Bio-weapon, mass surveillance control, social credit, brainwash dan terakhir genocide. Ketika hampir semua perempuan Uighur (kebetulan memang diciptakan cantik rupawan) jadi ajang para pria suku Han melampiaskan syahwat binatangnya. Setelahnya baru mereka nikahi dengan merenggut akidah, kehormatan, serta memori mereka sebagai ras yang merdeka.
Sesuai dengan tiga hal pokok dalam novel 1984 tadi. Ada enam sub bagian artikel yang akan menggambarkan bahwa benarlah sinyalemen beberapa peneliti politik yang mengatakan bahwa secara tak langsung novel 1984 dijadikan kitab suci bagi para penganut otoritarianisme atau totalitarianisme berbasis teknologi. Dengan cctv di tiap sudut kota, kecerdasan buatan yang mendekati kemampuan storage seribu terabyte, teknologi face recognition sebagai ID pengganti sidik jari dan penyeragaman pikiran melalui frekuensi gelombang tertentu.
1.CCTV
Banyak dari kita belum menyadari sepenuhnya bahwa di sekeliling kita secara perlahan sudah mulai transparan. Segala sesuatunya dapat serta merta disaksikan dalam tayangan di berbagai layar digital. Baik gadget, tablet, laptop, televisi hingga giant screen. Pengirimnya adalah jutaan kamera cctv real time yang saat ini jumlahnya meningkat pesat. Walaupun hal ini masih bisa diperdebatkan, namun segi mudharatnya pun tak kecil jumlahnya.
Persis seperti di Oceania tempat Winston tokoh protagonis novel menjalani kehidupannya. Si Bung Besar karakter antagonis pun seolah bisa berada dimanapun pelosok kota. Gambar dan suaranya ketika sedang pidato seakan terus menyusup di tiap urat nadi manusia penduduk di Oceania. Apalagi tiap pukul lima sore si Bung Besar rutin tampil di Telescreen bicara soal kesuksesan dirinya yang tentu saja itu semua adalah kebohongan. Iya seperti kata Joseph Goebbels, 1000 kebohongan yang terus menerus disiarkan lambat laun akan menjadi satu kebenaran. Jahat gak bro?
Big Brother digambarkan melalui sebagai pria berumur sekitar 45 tahun, tampan, dan berkumis lebat. Ia tidak pernah secara langsung menampakkan diri, sebagaimana "musuh besarnya," Emmanuel Goldstein. Namun, di setiap poster yang menampilkan wajahnya selalu tertulis, "BIG BROTHER IS WATCHING YOU."