Lihat ke Halaman Asli

Lukman Yunus

Tinggal di pedesaan

Tradisi Mendongeng: Edukasi, Ketimpangan, dan Tantangan

Diperbarui: 28 Juli 2020   22:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi seorang ibu sedang membacakan dongeng untuk anak-anaknya | Sumber foto: Tempo.co

Dulu sebelum listrik dan televisi masuk ke desa, hampir setiap malam kami mendengarkan cerita dongeng. Kini, tradisi mendongeng tersebut sudah tidak ada lagi.

Nilai Edukasi dalam Cerita Dongeng

Cerita dongeng dan masa kecil memiliki relasi kuat dalam pengalaman hidup saya dan teman-teman. Tinggal di perkampungan yang serba kekurangan waktu itu, terutama lampu penerangan listrik membuat warga kampung menggunakan alat penerangan seadanya seperti lampu pelita. 

Dalam kondisi demikian, apa hiburan yang bisa kami dapatkan pada malam hari? Tidak ada listrik artinya televisi juga tidak ada. Untungnya kami tumbuh di perkampungan yang memiliki tradisi mendongeng. Dongeng menjadi hiburan tunggal bagi anak-anak yang tumbuh pada saat itu.

Malam pun jadi berwarna ketika cerita dongeng dimulai dan kami mendengarkan dengan antusias. Biasanya yang berperan sebagai pembawa cerita dongeng adalah kaum ibu-ibu. Dari sekian judul dongeng yang kami dengar, masing-masing terbingkai dalam genre yang beragam. Terdapat cerita dongeng unsur jenaka hingga sedih. 

Dongeng si kancil yang cerdik hingga cerita dongeng binatang monyet yang serakah, masing-masing memiliki nilai edukasi bagi yang mendengarkan cerita dongeng tersebut. Saya berkesimpulan bahwa dongeng ternyata tidak sekedar menghibur malam kami yang belum tersentuh aliran listrik, namun ada nilai edukasi yang diperoleh dari sebuah dongeng. 

Perbedaan Tradisi Mendongeng di Desa dan Kota

Membicarakan tradisi mendongeng antara desa dan kota memiliki sisi perbedaan. Dulu di kampung kami, seseorang yang berperan sebagai pembawa cerita dongeng adalah yang dipercaya menguasai cerita dongeng. Indikator menguasai cerita dongeng disini ialah tidak menceritakan dongeng melalui media buku melainkan dituturkan langsung oleh pembawa cerita dongeng. 

Bukan karena membenci karya tulis buku dongeng namun faktanya memang tidak tersedia buku dongeng. Konon, koleksi cerita dongeng tersebut merupakan warisan yang kemudian turun temurun dihafalkan dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya. 

Berbeda dengan tradisi mendongeng di kota, jika diperhatikan pembawa cerita dongeng menggunakan media buku dongeng. Dibacanya sebuah dongeng dari buku sebagai pengantar tidur bagi anak-anak. Hal ini berdasarkan ciri kota yang serba ada, seperti infrastruktur jalan yang beraspal, lampu penerangan listrik, pun literatur tentang dongeng banyak dijumpai di toko-toko buku. 

Keunggulan dari tradisi mendongeng di kota dibandingkan di desa dalam konteks sumber cerita (Literatur) adalah khusus anak-anak yang sudah bisa membaca dapat secara mandiri memperoleh cerita dongeng melalui buku dongeng yang tersedia. Selain itu, sebuah dongeng yang sudah dibukukan akan abadi sepanjang masa. Sehingga tidak ada kekhawatiran pada masa yang akan datang, dongeng punah, kecuali karena alasan peminatan terhadap dongeng yang berkurang atau tidak ada sekalipun.

Sedangkan di desa menunjukkan adanya ketimpangan dalam hal di atas. Pembawa cerita dongeng hanya mengandalkan ingatan sebagai memori yang menyimpan koleksi dongeng. Tidak menjamin bahwa seseorang memiliki kemampuan mengingat selamanya atau dengan kata lain sangat terbatas. Salah satunya faktor usia. Jika generasi berikutnya tidak mewarisi tradisi mendongeng yang sudah turun temurun berlangsung maka dapat dipastikan dongeng tersebut lenyap dan berhenti disitu.

Tantangan Tradisi Mendongeng di Era Sekarang

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline