Lihat ke Halaman Asli

Tuan Guru, Islam dan Lombok: Sebuah Pemaknaan

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tuan guru: nama yang tidak usang lagi pada masyarakat suku Sasak di Lombok. Bukan saja karena namanya yang populer, tetapi karena eksistensi dan perannya di bumi seribu masjid telah masuk pada setiap lapisan masyarakat. Tentang tuan guru, selalu mudah untuk ditebak sekaligus dimaknakan. Gagasan Ferdinan de Sausure yang menyebut tanda dengan istilah signifian (penanda) dan signifie (petanda) adalah cara mudah untuk menangkap wujud dari setiap makna yang muncul. Tuan guru dengan eksistensinya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan keberagamaan masyarakat. Bahkan bukan saja yang berkaitan tata cara beragama, kehidupan sosial politik pun tak lepas dari petuah dan cara pandang tuan guru. Tuan guru dapat dikatakan menjadi orang yang dinomor satukan, khususnya terkait dengan tata cara bersyariat dan pilihan dalam berpolitik.

Mengacu pada pandangan Sausure sebagaimana telah disebutkan bahwa tuan guru adalah tanda yang ada pada diri sang tuan guru dan ketika masyarakat mengikuti aktivitas dan cara berpikir tuan guru itulah penandanya (signifier). Dengan kata lain, tanda memunculkan penandannya. Tuan guru dengan atribut dan cara berpakiannya (jubah, surban panjang, topi haji/putih, tasbih, tongkat) dan sejenisnya adalah tanda yang melekat pada dirinya. Selain atribut berpakaian, juga kata-kata berupa hadist dan nasihat ulama menjadi tanda tersendiri bagi dirinya.

Melalui caranya berdakwah atau menyebarkan Islam melalui majlis taklim dan kegiatan-kegiatan lainnya mucullah makna dari aktivitas tersebut. Semakin lama aktivitas itu dijalankan, semakin kuat makna yang diberikan masyarkat kepadanya. Sebagian masyarakat Sasak memberikan nama tersendiri bagi sang tuan guru berdasarkan apa yang dimaknakan atas dirinya kepada tuan guru. Sebuat saja tuan guru Pancor mengacu pada Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid yang berasal dari Pancor sebagai tanah kelahirannya dan tempat pesantren yang dibangunnya, tuan Tretetet yang mengacu pada tuan guru Umar Kelayu dan tuan guru Bajang yang dinisbatkan kepada tuan guru KH. Zainul Majdi. Masyarakat hanya memberikan gelar tersebut berdasarkan apa yang mereka persepsikan terhadap sang tuan guru.

Dalam kaitannya denganya agama, Islam adalah agama yang mayoritas di pulau Lombok. Sebagai agama yang mayoritas tidak heran banyak orang luar di Lombok menyebut Lombok sebagai ‘pulau seribu masjid’. Hal ini dikarenakan setiap perjalanan yang dilalui pelancong, akanditemukan majid pada setiap kampung. Satu desa saja bisa memiliki 2-5 masjid, itu pun di luar musolla/surau kecil. Perkembangan Islam di Lombok dipandang sangat cepat, hal ini tentu saja karena struktur masyarakat yang tradisional dan cara pendakwah (tuan guru) yang menyesuaikandengan kultur masyarakat Lombok.

Jika diperhatikan dengan seksama, cara keberislaman masyarakat Lombok dengan struktur masyarakat tradisional membuat pemeluk menganggab Islam pada konteks rutinitas, seperti sholat, haji, zakat, bangun masjid dan sebagainya. Islam dalam masyarakat Lombok lebih bersifat profan. Disebut profan karena para pemeluknya mempersepsikan Islam pada wujud rutinitas dan menganggap sistem aturan dan kemasyarakatan tidak berkaitan langsung dengan Islam yang dijalankan. Hal ini diperkuat dengan cara masyarakat memperspektifkan tuan guru sebagai orang yang membimbing mereka kepada petunjuk sesuai dengan cara tuan guru. Sebagai biasnya, dalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang rutin dilakukan tanpak melibatkan tuan guru, kegiatan akan bernilai berbeda bahkan terasa ‘hampa’ di samping kehadiran jamaah yang bisa dihitung. Fenomena itu semakin memperkuat bahwa tuan guru dan Islam dalam masyarakat suku Sasak telah menjadi satu ikatan terstruktur yang kokoh. Tuan guru dengan cara keislamannya dan Islam yang dipersepsikan masyarat dari sang tuan guru.

Sebagai satu ikatan terstruktur, tuan guru dan Islam terus tumbuh dan berkembang di Lombok. Pondok-pondok pesatren sebagai sentral tempat mempelajari Islam telah banyak mengatarkan peserta didiknya berangkat ke Makkah atau Timur Tengah dan nanti sekembalinya ke Lombok telah menjadi tuan guru, entah karena ilmu yang menjadi konsentrasinya itu ilmu agama atau umum, masyarakat tetap akan memanggilnya dengan sebutan ‘tuan guru’. Di sisi lain, dengan munculnya tuan guru-tuan guru sebagai pendakwah, syiar Islam semakin pesat dalam wujud yang profan karena masyarakat hanya mendengar dan menjalankan apa yang dikatakan tuan guru.

Dalam perspektif leksikon, Lombok dimaknakan dengan ‘lurus’ atau jujur. Masyarakat Sasak lurus dalam mengikuti perintah tuan guru dan tidak sewenang-wenang dalam memperggunakan otoritas. Sebagai ‘pulau seribu masjid’, nama Lombok menjadi ikon dalam bahasa Pierce telah memperkuat persepsi orang luar Lombok bahwa Lombok adalah kumpulan orang-orang yang patuh dan taat kepada ajaran agama (Islam) dengan sifat kebersamaan dalam kegiatan membangun tempat ibadah seperti masjid, di samping masjid secara umum menjadi lambang tempat suci umat Islam. Dengan demikian, Tuan Guru, Islam dan Lombok adalah satu segitiga ‘primadona’ di daerah Nusa Tenggara Barat. [09/11/2014]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline