Lihat ke Halaman Asli

Lukas SungkowoJoko Utomo

Guru dan Penulis buku

Simbok Payun

Diperbarui: 7 Juni 2023   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Simbok tua itu tetap setia menemani perjalananku, bukan menemani, tepatnya, memaksa menemani meski hampir separuh perjalanan aku tempuh dalam diam.  Aku memang ingin berjalan sendiri menuju ke pintu gua yang sudah mulai terlihat meski saat jalan menurun dan berkelok, mulut gua kembali hilang karena tertutup pohon jati yang melingkupi sekitarnya.  Bahkan sesungguhnya, Aku merasa terganggu saat berkali kali Simbok berusaha memayungi jalanku.  Sebetulnya, aku merasa kesal, jalan yang kulalui cukup teduh karena dilingkupi pohon jati yang daunnya rimbun sehingga tidak memerlukan payung.  Selain itu, dari awal perjalanan, Simbok tidak berhenti bicara.

"Banyak lho nak, yang permohonannya terkabul saat minta sama Ibu, namanya juga ibu, pasti tidak akan tega sama anak anaknya," katanya.

"Nyuwun sewu, Mbok, sebetulnya saya ingin sendiri, kayaknya enak banget ya kalau saya bisa jalan sambil merenung," jawabku.  Saya berharap bahwa yang aku ucapkan menyadarkan Simbok Payung, bahwa aku ingin sendiri.

"Betul, nak.  Tempat ini kalau untuk merenung memang tepat sekali.  Banyak koq yang melakukannya, kadang kadang ada yang dari pagi sampai sore di depan Ibu," jelas Simbok.

"Hemmm, bagaimana caranya aku mengusir orang satu ini," batinku kesal. "Biarin saja dia mau omong apa kek, kalau tidak disahutin lama lama juga diam."

Namun ternyata Simbok Payung begitu setia, sambil terus berbicara, sekali-kali dia berjalan di sampingku berusaha memayungiku.  Ceritanya masih tetap sama, orang orang yang sudah diselamatkan karena berdoa dengan perantaraan Ibu. 

Meskipun aku tidak memperhatikan apa yang dia ceritakan, namun kesetiaan simbok dalam mengikuti perjalananku, meluluhkan kekerasan hatiku juga.

"Terima kasih, mbok," jawabku singkat sambil menerima payung yang ia sodorkan untuk kesekian kalinya.

Aku berharap dengan kuterima tawaran payungnya, ia berhenti mengikuti aku.  Tetapi ternyata aku keliru, karena hal tersebut justru membuatnya semakin semangat mengikutiku.

"Ya sudahlah.. toh dia tidak mengganggu," pikirku.

Tanpa terasa, gua Maria Tritis yang aku tuju sudah semakin dekat.  Tinggal beberapa puluh meter lagi.  Aku berhenti sejenak, "Simbok mau menunggu di sini, ikut masuk... atau mau balik ke depan?" tanyaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline