Lihat ke Halaman Asli

Lukas SungkowoJoko Utomo

Guru dan Penulis buku

Ekaristi: Kewajiban atau Kerinduan

Diperbarui: 19 Desember 2022   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

EKARISTI: KEWAJIBAN ATAU KERINDUAN?

Sebuah refleksi mengikuti perayaan Ekaristi selama masa pandemi covid 19 yang mengantar pada kesadaran akan karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus.

Pandemi covid 19 saat ini sudah mereda.  Namun jejak yang ditinggalkan masih bisa kita rasakan.  Selama kurang lebih dua tahun, kita dihantui oleh kekhawatiran, kegelisahan bahkan ketakutan.  Aktivitas kita sebagai manusia yang biasanya begitu riuh, menjadi sunyi, bahkan nyaris terhenti.  Pandemi memang telah meluluhlantakkan berbagai sisi hidup manusia, "tidak hanya membuat lingkup kehidupan jasmani berada  di titik nadir. Pada sebagian umat Katolik bisa jadi iman mereka pun mengalami titik nadir."(Buku AAP Keuskupan Bogor 2022, hal. 2).  Dalam kondisi seperti inilah kita sebagai umat Katolik memiliki dua pilihan untuk mengambil keputusan: apakah akan semakin intens menjalin relasi dengan Allah melalui berbagai cara seperti halnya yang telah ditunjukkan oleh para pemimpin Gereja?  Atau kita semakin menjauh dari Allah karena telah kehilangan harapan!

SUKACITA DALAM KETAKUTAN

Situasi pandemi yang membawa rasa takut bagi kita, tidak ubahnya dengan rasa takut yang dialami oleh para murid saat mereka "merasa" ditinggal oleh Yesus karena kematian-Nya di puncak salib.  hal ini seperti terungkap dalam Injil Yohanes 20: 19 "Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang- orang Yahudi."  Bagaimana tidak?  Selama mereka bersama-sama dengan Yesus, mereka merasa terlindungi dari berbagai ancaman.  Yesus senantiasa menjadi perisai saat orang-orang Yahudi ingin meluapkan kebenciannya terhadap para murid.  Bagi para murid, Yesus adalah tempat bergantung yang kokoh.  Namun setelah kematian-Nya, semua menjadi sirna.  Mereka harus mempertanggungjawabkan pilihan mereka yang selama ini sudah "ditandai" oleh orang Yahudi sebagai pengikut Yesus.  Pada saat itulah hidup para murid merasa terancam, maka mereka bersembunyi, tinggal di dalam rumah dengan pintu-pintu yang terkunci.

Namun ternyata, suasana ketakutan ini tidak berlangsung lama.  Pada saat para murid kehilangan harapan, Yesus Hadir di tengah-tengah mereka dengan membawa damai sejahtera.  "Damai sejahtera bagi kamu semua!".  Mendengar sapaan khas tersebut, sirnalah seluruh ketakutan yang dirasakan para murid karena mereka tahu, Yesus ternyata tidak pernah meninggalkan mereka.  Kehadiran Yesus mengubah rasa takut dan terancam menjadi sukacita dan harapan.

ANTARA VIRUS DAN YESUS

Apa yang dirasa dan dilakukan para murid dalam menghadapi ancaman ternyata juga kita rasakan.  Hal ini nampak jelas pada saat menghadapi pandemi covid 19 beberapa waktu yang lalu.  Kita memang tidak mengalami ancaman dari sesama manusia seperti yang dialami para murid, ancaman yang nampak nyata.  

Tetapi kita merasakan ancaman yang lebih menakutkan, karena ancaman yang kita rasakan tidak terlihat, tetapi ada.  Kita bisa melihat dampak dari ancaman tersebut, yaitu kematian dari orang-orang di sekitar kita, bahkan mereka yang paling dekat dengan kita.  Ketakutan kita telah menjadikan kita orang asing bagi sesama karena masing-masing dari kita saling membatasi diri untuk bertemu, bersekutu dan bergaul selayaknya manusia pada umumnya.  Yang bisa kita lakukan hanya berdiam di rumah, meski dengan pintu-pintu terbuka, tetapi membatasi sesama untuk masuk ke rumah kita.  Kita takut mereka membawa virus yang berdampak tidak baik untuk kita dan keluarga kita.

Pada saat itu, seperti halnya para murid, kita membutuhkan kehadiran Sang Penyelamat.  Dan Penyelamat itu sungguh hadir!  Tetapi, di sini kita menemukan perbedaan antara hadirnya Penyelamat di depan para murid dan di dalam diri kita. Kehadiran Sang Penyelamat dalam diri kita seperti halnya virus covid 19, yang tidak nampak namun ada.  Sama sama adanya, sama sama nyata tetapi beda beda dalam tanggapan kita.  Virus yang kita takuti itu kita yakini atau kita "imani" sungguh-sungguh adanya.  Hal ini terungkap dari sikap dan tindakan kita yang mencerminkan rasa takut yang mendalam, antara lain dengan memakai masker, tidak berkerumun, tidak berjabat tangan, tidak berbagi makan dalam wadah atau sarana makan yang sama, kita setia tinggal di rumah.  Kita melakukan semuanya itu supaya kita selamat. 

Berbeda halnya dengan tanggapan kita atas kehadiran Yesus.  Kita sadar kita membutuhkan hadir-Nya, tapi seringkali kita tidak sadar bahwa Yesus telah hadir untuk kita.  Kita tidak menanggapi secara tepat dan sungguh sungguh kehadiran Yesus, padahal hadirnya membawa kegembiraan.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline