Lihat ke Halaman Asli

Semua Pelanggan adalah (Bukan) Raja

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah diskusi dengan tim marketing perusahaan suplier baru-baru ini, seorang manajer divisi marketing mengungkapkan rasa jengkelnya atas komplain salah satu pelanggan yang mempermasalahkan waktu pengiriman yang tidak sesuai permintaan. Simanajer marketing tidak terima disalahkan. Ia merasa penawaran sudah lama dikirim. Biasanya, si pelanggan tersebut menurunkan order kalau jadwal produksi mereka sudah mepet, diikuti dengan omelan bagian pembelian yang menuduh supplier tidak profesional karena tidak bisa memenuhi keinginan mereka. Mengakhiri uneg-unegnya si manajer marketing bertanya, “apakah benar pelanggan itu raja?”

Kotler (2003) menyebutkan bahwa perusahaan, melalui sales representative, melakukan berbagai tugas yang mencakup posisi yang berbeda-beda. Tidak terbatas hanya pada aktivitas prospecting dan selling, mereka juga harus melakukan tugas-tugas communicating, allocating, information gathering dan servicing. Berkaitan dengan servicing, salah satu layanan yang seharusnya dilakukan adalah membantu menyelesaikan masalah si pelanggan.

Robert McMurry (1986) juga membagi aktivitas pemasaran menjadi 6 tipe. Berturut-turut mulai dari yang disebut McMurry sangat tidak kreatif hingga sangat kreatif yakni, deliverer yang mengirim produk, order taker sebagai penerima atau pengambil order, missionary yang berusaha membangun keinginan baik pelanggan, technician yang bertugas memberi dukungan dan konsultasi teknis, demand creator yang berusaha mengembangkan metode-metode kreatif pemasaran dan solution vendor yang memiliki keahlian sebagai konsultan yang menyelesaikan masalah pelanggan.

Mengacu pada dua pemikiran pakar tersebut dan meminjam istilah teman-teman detailer perusahaan farmasi, “mbabu” kepada pelanggan jelas sudah bukan jamannya lagi. Perusahaan atau karyawan yang mewakilinya, di masa kini sudah seharusnya memiliki keahlian untuk memberikan solusi kepada pelanggan. Karena itu, walaupun pertanyaan mengenai kebenaran pelanggan sebagai raja sebenarnya sering saya dengar pada saat memberikan pelatihan, tapi pertanyaan di acara diskusi kali ini terasa berbeda.

Ada link dengan kejadian sehari sebelumnya, tidak lama setelah saya duduk di kursi pesawat 737-800 salah satu maskapai penerbangan, yang menurut pengalaman saya menghormati pelanggan-nya tanpa basa-basi. Seperti biasanya saya duduk di kursi samping pintu darurat dengan pertimbangan areanya lebih lapang untuk kaki yang agak panjang, dan tentu saja memenuhi syarat untuk membuka pintu darurat pada saat dibutuhkan.

Ketika itu, pramugari menawarkan kepada seorang penumpang wanita yang juga duduk di area yang sama di seberang gang agar pindah ke tempat duduk di bagian depan.

Tak dinyana, penumpang wanita tersebut malah mengeluarkan umpatan disertai ucapan yang kurang pantas. Ia merasa mendapat perlakuan diskriminatif karena “tidak diijinkan” duduk di samping pintu darurat. Bahkan, si penumpang juga mengeluarkan ancaman, dirinya akan turun dari pesawat kalau tetap dipaksa pindah. Barangkali tidak siap menghadapi perlawanan dan ancaman, si pramugari dengan tersenyum lantas minta maaf dan segera berlalu ke belakang.

Dalam hati saya bertanya, kok minta maaf dan menyerah? Bukankan yang dilakukan si pramugari sesuai prosedur dan benar? Menuruti kemauan si penumpang yang dinilai tidak memenuhi syarat untuk tetap duduk di pintu darurat jelas mempertaruhkan keselamatan banyak penumpang lain. Konyol kalau memperlakukan semua pelanggan sama, apalagi kalau semua pelanggan dianggap raja.

Menurut saya, perusahaan yang ingin mencapai eksistensi yang berkesinambungan sudah saatnya meng-update sikap mereka terhadap pelanggan. Paling tidak lakukan 3 hal berikut. Pertama, bangun nilai-nilai baru yang berbasis pemikiran bahwa kalau perusahaan ingin tetap eksis, maka anda harus memastikan perusahaan pelanggan terbebas dari hambatan untuk mencapai kesinambungan (sustainability). Yakinlah bahwa hanya pelanggan yang berkesinambungan yang akan membuat eksistensi perusahaan anda juga berkesinambungan. Kedua, tanamkan juga nilai bahwa pelanggan bukanlah raja yang harus selalu dituruti, tetapi mitra yang sejajar untuk mencapai tujuan masing-masing perusahaan. Ketiga, berani dan harus menyampaikan hambatan atau potensi masalah pelanggan yang anda lihat kepada mereka. Informasikan kepada mereka dampaknya yang potensial di masa depan, bukan yang saat ini. Salam sukses berkesinambungan.

Oleh: Lukas Manalu

Konsultan Manajemen & HR Strategik

Email:lukasmanalu@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline