Berdasarkan Transparency International Indonesia, Index Persepsi korupsi (IPK) Indonesia dari tahun 2004 -- 20021, pergerakan IPK Indonesia lambat mulai dengan skor 20 bergerak naik menjadi 40, berdasarkan skala 0 -- 100 , 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih,pada tahun 2016 Indonesia mendapatkan nilai skor 37 yang menempatkan Indonesia pada peringkat 90 dari 176 Negara yang disurvey, pada tahun 2018 skor 38 , pada tahun 2019 skor 40 sedangkan tahun 2020 skor menurun lagi Indonesia diurutan 102 menurut Gatra.com.
Di ASEAN Indonesia sudah disalib oleh Timor Leste yang baru saja merdeka dengan skor 40 , Malaysia sudah jauh didepan Indonesia dengan skor 51 sedangkan Singapura 85. Mungkin Indonesia menganut falsafah Jawa "alon alon asal klakon" pelan yang penting nyampai. IPK ini berhubungan dengan persepsi pelaku usaha didalam efektivitas pemberantasan korupsi. Skor ini kalau diumpamakan nilai rapor, waduh kita belum lulus, sedih rasanya. Kalau pergi keluar negeri apalagi diskusi tentang integritas trus ingat bahwa Indonesia masih diperingkat 102 pemberantasan korupsi, kepala tidak berani tegak.
Ada suatu pangalaman pada saat Saya sedang belajar di Malaysia, Saya punya teman sekelas mempunyai nama Jawa, dia mengaku trahnya berasal dari Jawa, saat Saya diundang pesta pernikahan keluarganya, Saya bertemu dengan orang tua teman tersebut, Dia bercerita lahir di suatu kota di Jawa dan sering liburan ke jawa, tetapi sekarang sudah menjadi warga negara Malaysia , kemudia orang tua teman tersebut bertanya ke Saya "kenapa Malaysia tingkat korupsinya tinggi? "Saya masih berpikir dan agak bingung menjawabnya, ortu teman itu menjawab sendiri "orang Malaysia pandai korupsi karena diajari oleh orang Indonesia", terkejut dan diam, Saya tidak menyangka jawabannya seperti itu.
Kesulitan pemberantasan korupsi mungkin disebabkan, ini pendapat orang awam, bukti empiris dan masih hipotesa yaitu pimpinan perusahaan negara ataupun Lembaga sebagian besar cara penempatan personilnya dengan pendekatan politis dan kekuasaan bukan professional. Padahal dalam organisasi, Komitmen dan kebijakan pimpinan sangat berpengaruh besar terhadap bersih tidaknya dari pemberantasan korupsi. Berdasarkan survey data dari KPMG international pelaku fraud,34 % direktur,32 % manager, 21 % bekas pegawai, sedangkan terjadinya fraud ada kolusi dengan orang dalam 61%
Fakta empiris , dan berdasarkan data dari KPMG tersebut, pelaku korupsi berasal dari pimpinan dan manajer perusahaan yang berkolusi dengan predator untuk mencuri dan menggerogoti perusahaannya sendiri persentasenya besar. Kolusi antara pimpinan dan predator ini mengakibatkan pengabaian managemen, fungsi kontrol dan pengawasan lumpuh, ini disebut management override. Pada keadaan ini seumpama Kita diberi tanggung jawab menjaga rumah kemudian pada malam hari rumah sengaja tidak dikunci dan pura-pura tidur untuk memberi kesempatan pencuri mengambil barang barang yang ada di dalam rumah, supaya kita dapat bagian dari hasil curian tersebut.
Kemudian tidak mengutamakan Integritas, Integritas dianggap tidak penting didalam di dalam penerimaan personilnya, ada suatu premis dari Steve Albrecht bahwa fraud,korupsi, terjadi ataupun tidak bila ada 3 unsur terpenuhi yaitu tekanan, peluang dan integritas. Kalau seorang pegawai walaupun ada tekanan dan tersedia kesempatan tetapi integritasnya tinggi maka korupsi tidak akan terjadi.
Ada suatu pengalaman dari salah seorang mahasiswa Indonesia yang studi di salah satu negara maju Eropa. Karena untuk menghemat biaya terkadang punya suatu cara naik kereta dengan trik tertentu sehingga tanpa memakai karcis untuk pulang dan pergi kekampusnya, akhirnya mahasiswa tersebut lulus dengan sangat memuaskan dan melamar kerja di sebuah perusahaan besar di negara ini. Semua tes dilalui dan lolos dengan baik dan pada tahap akhir si pelamar kerja ini di panggil oleh tim recruiting dan dengan nada sedih diberitahukan bahwa Anda tidak diterima di perusahaan Kami karena dari rekam jejak anda, Kami menemukan Anda sering menyelinap tidak bayar naik kereta.
Sekali lagi faktor integritas sangat penting di dalam penerimaan pegawai di negara yang IPK nya tinggi. Kalau di Amerika punya cara tersendiri untuk melakukan tes integritas untuk mengetahui rekam jejak terhadap pelanggaran ataupun Tindakan kriminal dimasa lalunya dari calon pelamar terutama diposisi sensitip dan penting dengan dilakukan tes kebohongan (lie detector).
Di beberapa media koran dan elektronik pernah dimuat, beberapa calon pimpinan daerah pernah terlibat korupsi atau kasusnya masih berlangsung, ini sudah jelas sekali tidak mempertimbangkan aspek integritas, kalaupun ada pengecekan rekam jejak terhadap pimpinan tersebut bersifat seremonial. Ini sangat menyesakkan didada, Akhirnya Integritas sudah tidak dihargai tidak dianggap penting, ini seperti bentuk sosialisasi betapa tidak pentingnya integritas di Republik kita. Padahal bila Integritas diprioritaskan didalam system apapun itu dapat sebagai deteran bagi masyarakat untuk berpikir bila akan melakukan korupsi ataupun kejahatan.