Lihat ke Halaman Asli

Inilah Tubuh, Wujud Spiritualitas

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Teologi tubuh ini adalah landasan bagi metode yang paling cocok untuk pedagogi tubuh, artinya, untuk pendidikan manusia (atau lebih tepatnya, pendidikan-diri manusia)”

(Yohanes Paulus II)

Fenomena Terhadap Tubuh

Dewasa ini, perhatian banyak orang terhadap tubuh berkembang begitu pesat. Banyak orang berlomba-lomba untuk membuat citra dirinya menjadi begitu ideal. Bentuk tubuh yang dirasa kurang menarik akan sebisa mungkin di”permak”. Wanita, yang pada umumnya memiliki keinginan diri untuk melakukan banyak “permak” diri. Misalnya, yang sudah banyak dilakukan adalah operasi plastik dan sedot lemak. Banyak artis misalnya yang telah melakukan praktik-praktik kecantikan ini dengan beralasan untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka. Artis dunia yang saya amati pernah melakukan praktik-praktik kecantikan semacam operasi plastik adalah Paris Hilton, Jessica Simpson, dan mayoritas artis-artis Korea yang saat ini sedang mendunia. Operasi plastik banyak dilakukan pada daerah wajah: alis, hidung, rahang, pipi, dan dahi untuk membentuk kontur wajah yang ideal dan menarik untuk dipandang. Tak sedikit pula artis-artis Indonesia yang pernah melakukan operasi plastik, seperti: Krisdayanti. Krisdayanti dalam autobiografi yang pernah ia tulis mengungkapkan secara jujur bahwa ia pernah melakukan operasi plastik pada bagian hidung dan alis karena ia merasa tak percaya diri dengan bentuk alis dan hidung yang dimilikinya sehingga operasi plastik ia pilih untuk meningkatkan rasa percaya dirinya. Selain itu ada penyanyi Titi DJ yang pernah mencoba mem”permak” dirinya, namun dengan usaha mengecilkan bantuk payudaranya. Karena Titi DJ merasa ukuran payudaranya yang besar itu memberatkan tubuhnya.

Selain para kaum wanita yang sedang gencar-gencarnya melakukan permak bagian tubuh mereka, ternyata juga tidak sedikit kaum Adam yang begitu perhatian terhadap penampilan diri mereka. Begitu banyak pusat kebugaran (fitness) yang menawarkan program-program pembentukan tubuh dengan waktu yang relatif singkat. Para kaum adam banyak memberikan alasan bahwa program demikian diikuti guna meningkatkan stamina tubuhnya pun sebagai alasan kesehatan. Alasan tersebut wajar karena program tersebut secara tidak langsung juga merupakan bentuk olahraga. Hal yang kemudian menjadi obsesi adalah terwujudnya bentuk tubuh seorang pria yang ideal, kekar, dan menarik untuk dipandang oleh lawan jenisnya. Kepercayaan diri mulai luntur ketika merasa diri memiliki bentuk tubuh yang tidak ideal sehingga banyak kaum hawa yang kurang tertarik dengannya.

Dari fenomena-fenomena yang terjadi belakangan ini, saya mulai bertanya: “Bukankah Tuhan menjadikan diri (tubuh) kita dengan segala hal baik dan potensi yang ada?”. “Tidak lagi adakah wujud syukur manusia terhadap keberadaan tubuhnya?” atau “Bagaimana manusia memandang tubuhnya sebagai wujud spiritualitas dirinya?”

Tubuh Manusia juga Teologi

Kita mengungkapkan dan menyerahkan diri melalui tubuh kita, melalui tindakan-tindakan konkret. Hidup spiritual bukan sesuatu yang abstrak, terpisah dari hidup manusia. Tubuh kita pada dasarnya adalah upaya kita menghadirkan dan mengungkapkan diri baik itu pada saat kita tidak menginginkannya. Tubuh manusia mempengaruhi dalam banyak hal, baik itu dalam relasi dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Kita berkomunikasi melalui tubuh, kita bekerja pun melalui dan menggunakan tubuh. Tubuh manusia sebagaimana diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ceramah-ceramahnya selama ia masih hidup banyak berfokuskan pada perhatian atas tubuh, yang sekarang ini dikenal sebagai “Teologi Tubuh”. Teologi tubuh ini diperkenalkan sebagai satu-satunya cara yang memungkinkan kenyataan Allah yang tak terlihat itu menjadi terlihat adalah melalui tubuh manusia. Penciptaan kita sebagai maskulin dan feminin adalah fakta dasariah dari hidup manusia, maka Teologi Tubuh menawarkan jalan untuk menemukan kembali arti dari seluruh hidup kita.

Tubuh manusia dalam hal ini menjadi sebuah wujud kenyataan Allah. Tubuh manusia ditegaskan oleh Yohanes Paulus II merupakan logos (perkataan) tentang theos (Allah). Tubuh manusia mampu mengungkapkan hal-hal yang tak terlihat menjadi kenyataan yang terlihat: yang spiritual dan yang ilahi. Allah menciptakan tubuh manusia sebagai tanda misteri keilahian-Nya sendiri. Maka tubuh adalah teologi sehingga kita dapat belajar tentang Allah dan rencana-Nya bagi kita dari tubuh kita. Dari pernyataan itu memberikan penjelasan bahwa semestinya keseluruhan diri (tubuh) manusia dapat dengan jelas memperlihatkan cara seseorang menghayati spiritual dirinya. Manusia sebagai gambaran Allah dalam hubungan dengan sesamanya mampu mengungkapkan bagaimana seseorang menghayati spiritualitasnya. Namun ketika tubuh secara mudah diumbar-umbarkan ke orang lain, kita dapat menduga-duga bagaimana orang tersebut menghayati spiritualitas dirinya. Kita seringkali tidak menyadari bahwa kita adalah tubuh kita. Tetapi semua relasi kita dengan dunia sekitar kita terjadi melalui tubuh kita, melalui indera kita, melalui kemampuan kita untuk mengenal melalui apa yang diraba, dilihat, didengar, dicium. Pernyataan teologi tubuh ini pada tujuannya hendak menyerukan untuk kembali belajar memahami arti hidup sebagai manusia yang memiliki tubuh. Sementara tubuh manusia sebagaimana Colleen M. Griffith katakan bahwa itu merupakan kenyataan keberadaan manusia yang paling nyata dan tidak dapat dihindarkan. Persoalannya kemudian adalah bagaimana kenyataan tersebut pada akhirnya dapat menjadi sarana manusia untuk menghayati spiritualitas.

Dualisme Pemahaman Tubuh Manusia

Tubuh pada dasarnya tidak melawan jiwa, yang material tidak melawan yang rohani. Sering kali banyak orang berpikir demikian, bahwa tubuh itu memberatkan jiwa, menghambat hidup spiritual, bahwa yang jahat berasal dari tubuh sedangkan roh itu baik dan hanya mau yang baik.  Bayangan semacam itu masih merupakan 'dualisme'. Selama ini, berdasarkan sejarahnya, perhatian banyak orang terhadap tubuh menjadi sesuatu yang propaganda: tidak benar dan tidak sehat. Hal materi atau fisik dianggap jahat dan hal rohani dianggap baik dengan memikirkan bahwa kita perlu dibebaskan dari materi untuk mencapai yang spiritual.  Pikiran dianggap lebih penting dari pada perasaan. Emosi dianggap hal yang buruk dan berbahaya. Ungkapan afektivitas dianggap sebagai sikap kekanak-kanakan. Tradisi agama Kristen dan filsafat Barat mengkonstruksi keberadaan tubuh manusia yang telah terkait dengan “jiwa”. Dualisme antara tubuh dan jiwa/pikiran tumbuh sebagai pengaruh filsafat Barat dengan akar kekristenan yang kuat. Griffith memberikan gambaran tubuh dan jiwa sebagai sesuatu yang hierarkis. Posisi yang hierarkis antara tubuh dan jiwa merupakan pemahaman manusia terhadap manakah diantara tubuh dan jiwa itu yang menekankan dimensi yang terpisah dari seseorang. Sejalan dengan pemikiran Rene Decartes, filsuf Kristen yang mengatakan bahwa “Aku berpikir maka aku ada” memberikan kesan bahwa ia menyetujui idea pemisahan tubuh dari jiwa. Ada pemikiran lain mengenai hal serupa, yaitu yang hirarkis “kekuatan dari jiwa melampaui kekuatan tubuh” dan yang dualisme “adanya pemisahan antara tubuh dan roh karena terdapat perbedaan kualitatif”. Descartes memberikan suatu kesimpulan bahwa pikiran itu penting bagi keberadaan identitas manusia sedangkan tubuh manusia itu tidak. Sedangkan pemahaman post-modern kontemporer mengenai tubuh semakin nampak bahwa apa yang tetap adalah secara umum dibentuk secara fisik saja.

Salah seorang tulisan Bapa Gereja, Agustinus menjelaskan tubuh sebagai aspek penting dari keseluruhan diri manusia. Ia pernah menulis bahwa tubuh manusia bukan hanya hiasan belaka yang nampak, namun merupakan sifat dasar alamiah sebagai manusia. Namun pada saat yang sama, tubuh dan jiwa tidak dipahami sebagai hal yang sama nilainya. Ia menjelaskan bahwa jiwa tidak merupakan keseluruhan diri manusia melainkan lebih baik dipahami sebagai bagian dari manusia. Jiwa dipahami oleh Agustinus sebagai bagian dari tubuh manusia. Lalu, jika dikaitkan dengan posisi hierarkis, maka dapat dipahami bahwa jiwa itu yang mengatur tubuh manusia. Sementara Thomas Aquinas pernah menulis tentang hal ini pada abad ke-13, bahwa jiwa manusia, oleh karena alasan kesempurnaannya, bukanlah sebuah bentuk/wujud yang digabungkan dalam suatu substansi atau malah mencakup keseluruhan substansi tersebut. Bagi Aquinas, jiwa manusia secara spesifik merupakan kekuatan dari jiwa yang merupakan keseluruhan organisme tubuh itu. Thomas Aquinas pada dasarnya tidak menyetujui pandangan-pandangan dualisme yang banyak diungkapkan oleh para pemikir kala itu. Thomas Aquinas terlihat lebih menekankan kesatuan antara tubuh dan jiwa.

Sementara menurut pemikiran Yohanes Calvin, yang dikutip Margaret R. Miles, Calvin mengungkapkan:


“(Although) the substance of the soul is incorporeal, we must now add that thought it is not properly enclosed by space, it however occupies the body as a kind of habitation, not only animating all its parts, and rendering the organs fit and useful for all their actions, but also holding the first place in regulating their conduct.”

Sama halnya dengan pemikiran Agustinus, bahwa Calvin hendak membedakan tubuh dan jiwa, namun tidak dalam artian untuk memisahkan keduanya karena meskipun keduanya berbeda tetap memiliki hubungan yang terkait satu sama lainnya. Tubuh dipahami sebagai tempat dimana jiwa itu bernaung, atau juga seringkali dipahami bahwa tubuh merupakan penjara bagi jiwa. Pada akhirnya, dapat digambarkan bahwa pemahaman Calvin terhadap tubuh adalah bahwa tubuh tubuh dalam kaitannya dengan jiwa memiliki hubungan yang saling terkait untuk menunjukkan wujud kesatuan yang tetap dari tubuh dalam setiap tindakan manusia.

Colleen M. Griffith menuliskan dalam artikelnya bahwa ia tidak ingin memilih salah satu, ia mengembangkan 3 dimensi pengaruh tubuh:

(1)Tubuh sebagai organisme yang vital; terdiri dari jutaan sel, bertambah tua, hadir di tengah dunia. Hal tentang tubuh ini menjadi sebuah perspektif dan sebuah konteks yang hidup untuk menumbuhkan kedewasaan. Tubuh sebagai organisme vital dinyatakan selalu berada dalam relasi yang dinamis dengan hubungannya dengan dunia.

(2)Tubuh sebagai tempat sosio kultural dalam membentuk dan mengubah pandangan kita tentang tubuh. Sebagai organisme vital tadi mengasumsikan identitas tubuh dan yang hidup dalam hubungannya dengan lingkungan sosial dan budaya. Tubuh manusia menjadi ikut terlibat dalam hal hubungannya dengan hal-hal sosial-budaya.

(3)Tubuh adalah sebagai hasil dari kesadaran dan kehendak dapat berarti bahwa kesadaran bahwa kehadiran terhadap tubuh berarti mengembangkan sense kita terhadap tubuh secara fisik. Kemudian  dengan memaknai tubuh dapat memampukan seseorang menjaga diri manusia sebagai wujud tubuh yang bermartabat karena itu termasuk dalam komponen integral dari pembentukan identitas .

Tubuh Manusia sebagai Wujud Spiritualitas

Berdasarkan pemahaman dari ketiga dimensi keberadaan tubuh itu memberikan refleksi khusus terkait tentang tubuh. Ketiga hal tadi berbeda jauh (kontradiksi) dengan pengaruh tubuh yang diposisikan secara hierarkis dan pemahaman dualisme. Kembali kepada pertanyaan di awal yang saya ajukan dari fenomena-fenomena yang terjadi belakangan ini, “Bukankah Tuhan menjadikan diri (tubuh) kita dengan segala hal baik dan potensi yang ada?”, “Tidak lagi adakah wujud syukur manusia terhadap keberadaan tubuhnya?” atau “Bagaimana manusia memandang tubuhnya sebagai wujud spiritualitas dirinya?”. Merujuk pada pertanyaan terakhir, lalu bagaimana kita sebagai manusia melihat diri kita yang merupakan dan pada kenyataannya berupa tubuh ini sebagai upaya kita untuk mewujudnyatakan dan menghayati spiritualitas.

Barangkali benar pernyataaan Anthony de Mello bahwa kebanyakan orang hidup hanya dengan kepalanya saja. Kebanyakan dari mereka biasanya hanya menyadari pikiran dan angan-angan, yang berkeliaran di dalam kepala, dan kurang sekali menyadari kegiatan indera dan rasa. Akibatnya, mereka jarang sekali hidup pada saat sekarang ini. Kebanyakan orang terlalu sibuk berpikir mengenai masa lalunya, masa depannya, atau juga hal-hal lain yang sulit dijangkaunya. Sehingga pada akhirnya melupakan realitas keberadaan dirinya yang secara nyata paling dekat dan terintegrasi dengan dirinya: tubuh. Tubuh yang seringkali dilupakan manusia itu digantikan dengan ketidakpedulian terhadap orang lain. Terlalu fokus dan sibuk terhadap masa-masa yang pernah dan akan manusia lalui menjadikan pikirannya terlalu self-center. Adalah baik manakala menyadari perasaan dan bagian-bagian tubuh pada manusia. Upaya penyadaran itu setidaknya membantu orang untuk menaruh perhatian terhadap orang lain.

Spiritualitas merupakan upaya seseorang dalam merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya maka jika tubuh dipakai sebagai “sarana” untuk menghayati kehadiran Allah perlulah melihat tubuh itu sebagai upaya penciptaan Allah yang baik bagi manusia. Manusia baiklah juga memandang tubuh sebagai upaya melihat Allah. Bagaimana ketika kita sebagai manusia saat ini melihat tubuh telanjang? Banyak hal negatif yang barangkali akan muncul karena budaya kita saat ini tidak mengkonstruksikan kita, manusia melihat hal itu sebagai upaya melihat kenyataan diri kita sendiri. Kembali kepada fenomena-fenomena yang terjadi akhir-akhir ini ketika tubuh manusia banyak kali di “permak” guna mendapatkan citra tubuh yang seideal mungkin bagi pandangan orang lain dan dirinya sendiri. Dari fenomena-fenomena yang terjadi itu saya memberi kesan bahwa ketika bagian tubuh manusia itu dipermak, ia hendak menutupi anugrah Tuhan dalam hidupnya. Jadi, seperti memberikan gambaran lain yang lebih ideal bagi manusia lain yang melihatnya. Kesan lain saya terhadap fenomena tersebut adalah bahwa kebanyakan orang tidak melihat kenyataan diri Allah dalam tubuhnya, ciptaan Allah sendiri. Bila manusia sungguh memandang kenyataan diri Allah dalam tubuhnya, maka ia akan memahami bahwa sesungguhnya memberika diri secara penuh, dalam artian berserah terhadap realitas keberadaan tubuhnya setidaknya dapat menjadikan spiritualitas manusia semakin baik dihayati. Kita hanya akan dapat menjadi manusia yang menghayati Allah dalam kehidupan kita ketika memandang tubuh bukan sebagai obyek, melainkan sebagai subyek, yang berarti keutuhan diri kita sendiri. Colleen M. Griffith sudah sedikit membantu kita memahami spiritualitas tubuh dengan telah menawarkan 3 konsep dimensi memahami tubuh sebagai suatu pengaruh, maka adalah baik memahami ketiga hal tersebut sebagai wujud spiritualitas kita.



DAFTAR PUSTAKA:

de Mello, Anthony. Sadhana. 1980. Yogyakarta: Kanisius

Griffith, Colleen M. “Spirituality and the Body” dalam Bruce Morrill (Ed.) Bodies of Worship: Exploration in Theory and Practice. 2009.  Collegeville: Liturgical Press

Lincoln, Timothy D. “Calling, Devotion, and Transformation: Men Embodying Spirituality at a Protestant Seminary” dalam Journal of Men, Masculinities, and Spirituality. June 2011. Vol. 5, No. 1

Miles, Margaret R., “Theology, Anthropology, and the Human Body in Calvin’s Institutes of the Christian Religion” dalam Harvard Theological Review, 1981. vol. 74, no. 3

Ramadhani, Deshi. Lihatlah Tubuhku. 2009. Yogyakarta: Kanisius

LITERATUR TAMBAHAN:

http://spiritualitastubuh.blogspot.com diakses pada 25 Mei 2012

Deshi Ramadhani. Lihatlah Tubuhku. 2009. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 22

Deshi, Lihatlah, hlm. 22

http://spiritualitastubuh.blogspot.com diakses pada 25 Mei 2012

http://spiritualitastubuh.blogspot.com

Colleen M. Griffith. “Spirituality and the Body” dalam Bruce Morrill (Ed.) Bodies of Worship: Exploration in Theory and Practice. 2009.  Collegeville: Liturgical Press, hlm. 71

Colleen M. Griffith, Spirituality and the Body, hlm. 73

Colleen M. Griffith, Spirituality and the Body, hlm. 72

Margaret R. Miles, “Theology, Anthropology, and the Human Body in Calvin’s Institutes of the Christian Religion” dalam Harvard Theological Review, 1981. vol. 74, no. 3, hlm. 310

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline